
Pengembang Sebut Tak Ada Big Data Jadi Batu Sandungan Penyediaan Rumah MBR
Ketua DPP REI, Joko Suranto, mengungkap tantangan penyediaan rumah bagi MBR. Mulai dari backlog, big data perumahan, dan akses pembiayaan untuk sektor informal.
(detikFinance) 12/02/25 15:00 28697
Jakarta -Ketua Umum DPP REI, Joko Suranto, mengungkapkan beberapa tantangan dalam penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tantangan ini tidak lepas dari masalah jumlah backlog di Indonesia saat ini.
Ia menyebut, pada 2010 lalu jumlah backlog di Indonesia adalah 13,5 juta rumah. Kemudian, 10 tahun kemudian yakni pada 2020 turun menjadi 12,7 juta rumah. Ia menilai penurunan tersebut sedikit, tidak lebih dari 10 persen.
Lalu, berdasarkan data pada 2023, jumlah backlog di Indonesia kembali turun menjadi 9,9 juta rumah. Namun, ini bukan fenomena yang positif.
"Kemudian, pada 2023 tiba-tiba ada angka yang turun menjadi 9,9 juta. Kami sebagai pelaku pun juga agak bertanya. Nah untuk menjawab itu. Di Indonesia saat ini belum ada big data mengenai perumahan," kata Joko saat hadir di acara Mandiri Investment Forum 2025, Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Ia menuturkan big data perumahan tersebut dibutuhkan bagi pengembang, perbankan, bahkan pemerintah untuk mengetahui jumlah rumah yang dibutuhkan saat in. Big data perumahan juga dapat membantu dalam penyusunan road map perumahan.
"Nah itulah mengapa, kami diminta tim satgas perumahan, selalu meminta BPS ini diajak bicara sehingga kita punya data yang terukur. Ketika kita punya data yang terukur kita bisa berbicara road map," jelas Joko.
Selain itu, adanya big data perumahan dapat mencegah adanya kekeliruan data. Ia menemukan di lapangan ada rumah yang tidak tersalurkan, padahal masih banyak masyarakat yang membutuhkan rumah.
"Salah satu kesulitan kita adalah Ketika kita berbicara backlog ada suasana over supply. Backlognya 9,9 juta tapi ada over supply. Kenapa itu terjadi? Karena kita tidak mendapatkan acuan data yang reliable," ucapnya.
Tantangan kedua adalah mengenai perizinan. Meskipun saat ini Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait telah berusaha mempermudah pengurusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Namun, di lapangan kondisinya berbeda.
"Kami pelaku beberapa kali juga sudah menyampaikan bahwa memang Pak Menteri mendapatkan faktual bahwa on the spot ataupun sidak ataupun kunjungan mendapatkan data yang berbeda. Tetapi Ketika operasional daily itu kondisinya berbeda," ungkapnya.
Tantangan berikutnya adalah banyaknya masyarakat yang bekerja di sektor informal tidak mendapat kemudahan pelayanan pembiayaan. Sektor informal ini merupakan masyarakat yang bekerja tanpa memiliki slip gaji seperti tukang sayur, tukang ojeg, penjual bakso, dan sebagainya. Padahal masyarakat di sektor informal juga membutuhkan layanan seperti KPR.
Joko mengatakan, pihaknya telah berusaha agar masyarakat dari sektor informal mendapat jatah 10 persen dari total kuota penyaluran FLPP.
"Yang harus kita tahu lagi adalah sektor informal yang jumlahnya sangat besar. Ini kan belum mendapat akomodasi yang proper dari sektor perbankan. Kita akhirnya mendorong, Pak Heru juga setuju, di segmen FLPP ini ada minimal 10 persen itu adalah dari sektor informal," ungkapnya.
(aqi/aqi)#perumahan #backlog-rumah #rumah-mbr #rei #flpp #big-data-perumahan #big #kekeliruan-data #indonesia #kawasan-permukiman-maruarar-sirait #big-data-jadi-batu-sandungan-penyediaan-rumah-mbr #jakarta #sandungan #penyu