
Ramai Tagar Indonesia Gelap, Apakah Program 3 Juta Rumah Bakal Serupa?
Secara umum para pengembang perumahan mulai merasa pesimistis terhadap pelaksanaan Program 3 Juta Rumah. Halaman all
(Kompas.com) 20/02/25 11:30 32097
KOMPAS.com - Tagar Indonesia Gelap (#IndonesiaGelap) menjadi trending di media sosial dalam beberapa hari terakhir.
Tak hanya di media sosial, bahkan ribuan mahasiswa juga menggelar aksi Indonesia Gelap di Patung Kuda, Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada Senin (17/2/2025) sebagai bentuk protes atas program dan kebijakan pemerintah.
Terkait hal ini, apakah Indonesia Gelap juga terasa dalam pelaksanaan Program 3 Juta Rumah?
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Junaidi Abdillah mengkritisi gaya kepemimpinan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait soal Program 3 Juta Rumah.
Menurut dia, pengembang perumahan bisa mengalami perubahan perasaan dikarenakan sikap Maruarar Sirait atau akrab disapa Ara.
"Program 3 juta rumah ini (dari) optimistis bisa berubah menjadi pesimistis. Kenapa akan pesimis? Yang mana presiden untuk Program 3 Juta ternyata masih belum dijalankan dengan baik oleh pemerintahan," jelas Junaidi dalam konferensi pers bersama empat asosiasi pengembang lainnya di Jakarta, Rabu (19/2/2025).
Untuk diketahui, Program 3 Juta Rumah akan dilaksanakan masinh-masing 1 juta rumah di perkotaan, pesisir, maupun perdesaan.
"Cara memimpin dan gaya kepemimpinannya itu saya anggap mematikan kegiatan di publik. Padahal apa yang disampaikan dia banyak program-program yang belum bisa dijalankan Tapi wacananya sangat tinggi, tapi belum bisa dijalankan," tukasnya.
Sebelumnya Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto juga menyayangkan belum adanya kejelasan terkait pelaksanaan Program 3 Juta Rumah.
Pasalnya sejauh ini ia masih belum bisa melihat road map atau peta jalan Program 3 Juta Rumah yang akan dijalankan pemerintah.
Menurut Joko seandainya peta jalan sudah jelas, bisa saja Presiden Prabowo Subianto mengarahkan dana hasil efisiensi anggaran untuk Program 3 Juta Rumah, seperti halnya Makan Bergizi Gratis (MBG).
"Saya mungkin merasa kalau ini (Program 3 Juta Rumah) perencanaannya sudah ada, skemanya sudah ada, road map nya sudah ada, blue print nya sudah ada, mungkin Pak Prabowo yang (melakukan) efisiensi atau pemangkasan (anggaran) itu justru akan didorong ke sana (Program 3 Juta Rumah)," terang Joko saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (12/2/2025).
Pasalnya, program tersebut ditaksir akan berdampak positif secara langsung bagi masyarakat.
Joko menjelaskan, pembangunan 3 juta rumah per tahun, dengan 2 juta rumah di antaranya berada di pedesaan dan pesisir, akan menggeliatkan aktivitas perekonomian masyarakat di dua wilayah tersebut.
Misalnya, apabila setiap rumah memiliki nilai harga Rp 100 juta, tentu akan ada perputaran ekonomi sekitar Rp 200 triliun per tahun.
"Taruhlah keuntungannya 20 persen saja, maka ada Rp 40 triliun yang beredar di masyarakat," imbuhnya.
Selain itu, akan menggerakkan industri material bahan bangunan serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
"Satu rumah taruhlah 4-5 pekerja, kalau average setiap desa itu 25 unit, itu kan berarti memberi lapangan pekerjaan sekitar 100-120 pekerja di desa," tandasnya.
Untuk itu, Joko meminta agar peta jalan dan hal-hal terkait pelaksanaan Program 3 Juta Rumah bisa segera dirancang dengan baik serta diimplementasikan.
"Dan itu harus segera, karena ini sudah bulan Februari," pungkas Joko.
Lima Asosiasi Pengembang Keluhkan Sikap Pemerintah
Sebanyak lima asosiasi pengembang perumahan menyatakan tiga keluhan kepada Pemerintah.
Kelima asosiasi pengembang yang dimaksud adalah REI, APERSI, Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Asosiasi Pengembang dan Pemasar Perumahan Nasional (Asprumnas), serta Aliansi Pengembang Perumahan Nasional Jaya (Appernas Jaya).
Ketua Umum DPP REI Joko Suranto menyampaikan keluhan pertama terkait dengan tidak adanya rasa perlindungan maupun pendampingan dari pemerintah terhadap pengembang.
"Kami mendapatkan stigma, kami mendapatkan kondisi pengembang harus salah dan sebagainya," ungkap Joko yang mewakili empat asosiasi pengembang perumahan lainnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Kedua, keluhan yang dirasakan pengembang adalah rasa takut terhadap usaha yang mereka jalani.
Menurut Joko, tak sedikit pengembang yang hanya membangun perumahan dengan luasan kurang dari satu hektar.
"Masa depannya sudah dipertaruhkan semuanya. Masa depan keluarganya juga akan menjadi sesuatu yang menimbulkan tanda tanya," lanjutnya.
Ketiga, pengembang merasa tidak mendapatkan kenyamanan terkait kepastian dalam usaha mereka.
"Itulah yang kita rasakan. Kemudian, kami merasa kita akan harus berbicara mengenai FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. FLPP memang saat ini masih menjadi produk yang disukai masyarakat. Ini bukan berarti kalau semuanya itu harus melalui FLPP," tutup Joko.