/data/photo/2025/01/18/678baf4ee0d41.jpg)
Meragukan Relasi Positif Makan Bergizi Gratis dan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Efek produktif jangka pendek dan menengah dari MBG tak serta merta terjadi. Boleh jadi hanya berupa perubahan pelaku. Ada potensi destruktif. Halaman all
(Kompas.com) 04/03/25 12:16 35749
JIKA berkaca kepada fakta bahwa selama ini anggaran pemerintah didominasi belanja rutin (termasuk di dalamnya cicilan dan bunga utang) dan belanja operasional, maka harus diakui bahwa kebijakan efisiensi akan menjadi salah satu jalan cepat untuk mengatasinya.
Selama ini, dengan komposisi anggaran yang berat kepada pembiayaan rutin aktifitas pemerintahan, pembiayaan pembangunan menjadi anak tiri. Pembangunan hanya mendapat sisa dari anggaran rutin dan operasional pemerintah.
Kontrasnya, sebagaimana sering dikeluhkan publik, pelayanan pemerintahan dari waktu ke waktu acapkali mengecewakan di satu sisi diiringi oleh sikap arogan sekaligus “ignorant” dari aparat pemerintahan di sisi lain.
Sehingga anggaran yang terlalu berat kepada pembiayaan rutin dan operasional memang terasa kurang adil bagi rakyat banyak.
Masalahnya, kebijakan penghematan kali ini nampaknya bukanlah dalam rangka penghematan murni alias pemangkasan anggaran.
Menelisik lebih jauh, sebenarnya kebijakan ini berupa relokasi anggaran, bukan pemangkasan anggaran yang akan mengubah total nominal APBN.
Nyatanya, nominal APBN masih tetap sama, dengan besaran penarikan utang, beserta cicilan dan bunganya juga tetap sama. Relokasi anggaran yang diklaim sebagai penghematan tidak mengubah defisit APBN.
Logika relokasi tersebut berangkat dari asumsi bahwa belanja rutin dan operasional adalah belanja produktif yang tidak sustainable.
Bahkan tak jarang beberapa pihak malah mengategorikan belanja rutin dan operasional pemerintah justru kurang produktif.
Dikatakan demikian karena sifatnya yang hanya berupa “input “sekali masuk. Jadi saat dihentikan, maka semua “chain reaction”-nya juga berhenti.
Bedakan, misalnya, jika anggaran dipakai untuk membangun sekolah, dari tidak ada sekolah di satu titik lokasi menjadi ada sekolah.
Maka setelah dibangun, tidak perlu membangun lagi dalam jangka waktu tertentu. Anak-anak bisa terus bersekolah di sana, tanpa harus pergi jauh-jauh ke tempat lain untuk bersekolah yang terkadang membuka peluang bagi anak-anak tersebut untuk tidak lagi bersekolah karena jauh dan berbiaya mahal.
Artinya, ada efek berkelanjutan dari belanja pembangunan gedung sekolah, hanya dengan sekali alokasi anggaran pembangunannya.
Begitu juga dengan pembangunan jalan dan jembatan di daerah terpencil, misalnya. Atau pengembangan irigasi yang membuat petani bisa lebih dari sekali untuk bercocok tanam, sehingga bisa dua sampai tiga kali panen alias masa tanam tidak terlalu tergantung lagi kepada musim dan cuaca.
Efeknya kepada produktifitas sangat jelas dan “calculable”, sekalipun tidak ada lagi anggaran pembangunan dengan mata anggaran yang sama setelah itu selesai dibangun.
Efek sustainable yang sama juga berlaku pada pembangunan infrastruktur untuk memudahkan investasi baru dan lainya.
Sementara belanja rutin dan operasional, katakanlah belanja perjalanan dinas, imbas produktifnya akan terasa di saat pos anggaran tetap ada setiap tahun.
Perusahaan tour and travel, hotel dan restoran, rental kendaraan, UMKM suvenir akan menjadi penikmat rutin setiap tahun, bersama dengan semua SDM yang bergantung kepada perusahaan-perusahaan tersebut.
Namun, saat anggaran perjalanan dinas dipangkas, efeknya juga terpangkas seketika. Karen itulah dikatakan tidak sustainable.
Lantas, bagaimana jika anggaran hasil penghematan digunakan untuk membiayai makan siang gratis? Apakah efeknya akan lebih baik atau justru malah lebih buruk?
Untuk makan siang gratis, efeknya bisa sustainable jika dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, karena memang digunakan untuk perbaikan nutrisi SDM masa depan bangsa.
Sebagaimana diketahui, pembangunan SDM memang membutuhkan waktu panjang, tidak bisa sekali “libas”.
Jadi secara temporal, pertama, efeknya sebenarnya sama dengan belanja rutin. Jika dalam dua tahun ternyata program makan siang gratis terhenti, maka efeknya tidak akan terlalu terasa.
Secara teknis efek produktifnya sepanjang rantai pasok program makan siang gratis juga terhenti saat programnya terhenti, persis sama dengan belanja perjalanan dinas.
Efek penambahan gizi kepada anak sekolah SD hanya selama dua tahun, misalnya, tentu hanya akan menyelamatkan anak-anak dua angkatan dari ancaman stunting.
Setelah itu, jika kondisi orangtua mereka tak juga membaik, otomatis budaya makan anak-anak tersebut akan kembali ke pola semula.
Kedua, jika ternyata makan siang gratis untuk anak-anak SD hanya menggantikan makan siang yang telah mereka bawa selama ini dari rumah, maka makan siang gratis pemerintah otomatis akan menghentikan rantai pasok makan siang mandiri dari orangtua anak-anak SD tersebut yang didapat dari pasar di mana mereka tinggal.
Artinya, ada rantai pasok makan siang yang terhenti di pasaran, lalu digantikan oleh rantai pasok baru versi pemerintah.
Belum tentu secara total program makan siang gratis menciptakan efek produktif yang dibawa oleh keseluruhan rantai pasok makan siang gratis tersebut, sebagaimana yang dielu-elukan pemerintah.
Tetap ada potensi destruktifnya kepada perekonomian, dengan berhentinya rantai pasok makan siang anak-anak SD yang bergantung kepada pasar konvensional selama ini.
Akan ada pengurangan permintaan lauk pauk, beras, sayur, dan sejenisnya, di pasar-pasar konvensional di mana orangtua anak-anak SD tersebut berbelanja selama ini.
Nahasnya, misalnya untuk program makan siang gratis anak-anak SD, jika ternyata hampir 100 persen anak-anak SD selama ini memang membawa makan siang dari rumah, katakan saja demikian, maka otomatis imbas produktif dari program makan siang gratis sebenarnya menjadi tidak ada atau cateri paribus (konstan).
Pasalnya, kehadiran rantai pasok makan siang gratis untuk anak-anak SD tadi hanya menggantikan rantai pasok dari pasar konvensional yang ada.
Sehingga yang terjadi kemudian adalah pergeseran pelaku/pelaksana semata, dari yang awalnya benar-benar dilakukan berdasarkan mekanisme pasar, digantikan rantai pasok yang di-engineering oleh pemerintah.
Secara ekonomi politik, kondisi ini tentu menjadi tidak lebih baik. Rantai pasok makan siang gratis dari pasar konvensional yang dilakukan secara mandiri oleh orangtua murid, masih berpotensi mendistribusikan kekayaan ekonomi (memberi imbas positif kepada ekonomi) secara merata, tergantung kepada model penguasaan sumber daya sepanjang rantai pasok makan siang tersebut.
Dan saya mengasumsikan proses makan siang mandiri dari orangtua murid jauh lebih terdistribusi secara merata efek ekonominya, mengingat masih kuatnya logika pasar di baliknya.
Harga masih bergantung kepada permintaan dan penawaran, bukan berdasarkan “baseline” versi pemerintah.
Nah, jika kondisi tersebut menjadi latar yang mengiringi lahirnya program makan siang gratis, maka tidak saja efeknya menjadi “konstan”, tapi juga lebih destruktif karena akan menciptakan struktur ekonomi yang lebih “government endorsed” di sepanjang rantai pasok makan siang gratis.
Artinya, keberadaan “winner dan loser” di sepanjang rantai pasok makan siang gratis akan sangat terasa.
Yang mendapatkan proyek makan siang gratis, beserta dengan rantai pasok yang ada di belakangnya, akan menjadi pemenang.
Sementara pelaku di pasar konvensional yang menjadi rantai pasok makan siang mandiri selama ini akan menjadi loser.
Di sini saya ingin mengatakan bahwa efek produktif jangka pendek dan menengah dari makan siang gratis tidak serta merta terjadi.
Boleh jadi hanya berupa perubahan pelaku/pelaksana/operator di rantai pasok makan siang gratis semata, jika ternyata hanya menggantikan budaya makan siang gratis “bawa dari rumah” yang sudah ada sebelumnya dengan makan siang gratis besutan pemerintah.
Di pasaran yang terjadi adalah zero sum game antara rantai pasok baru versi pemerintah dan rantai pasok lama versi makan siang gratis.
Efek produktifnya hanya akan terjadi jika makan siang gratis berangkat dari asumsi bahwa memang anak-anak SD tadi sebelumnya tidak makan siang gratis dan tidak pula membeli makan siang gratis di luaran.
Sehingga dengan hadirnya makan siang gratis, akan tercipta rantai pasok baru yang akan menggerakan perekonomian di sepanjang rantai pasok tersebut.
Arti lainya, imbas produktif dari hilangnya setengah anggaran rutin, lalu sebagian besar dialihkan untuk makan siang gratis, boleh jadi berujung negatif.
Pasalnya, terjadi pergeseran anggaran dari pos yang produktif, tapi tidak sustainable kepada pos produktif, tapi kurang sustainable sekaligus berpotensi negatif ke pasaran.
Sehingga, meyakini bahwa program makan siang gratis bisa menjadi salah satu triger untuk mendatangkan pertumbuhan ekonomi 8 persen, saya kira, belum memiliki dasar yang terlalu kuat untuk diyakini.