
Program 3 Juta Rumah: Kebijakan Ambisius Vs Realitas Sektor Informal
Tanpa solusi yang menyasar akar masalah ini, target 3 juta rumah berisiko menjadi proyek simbolis tanpa dampak riil. Halaman all
(Kompas.com) 14/04/25 09:00 44378
PEMERINTAH Indonesia menetapkan target ambisius membangun 3 juta rumah per tahun untuk
mengatasi backlog hunian yang mencapai 9,9 juta unit (data Kementerian PUPR, 2023).
Pada saat yang sama, anggaran Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) terkena efisiensi menjadi Rp 3,6 triliun untuk tahun anggaran (TA) 2025.
Sementara itu, dari penilaian Ketua DPP REI Joko Suranto, Presiden Prabowo akhir-akhir ini lebih berfokus pada program-program lain.
Joko juga menyoroti langkah Kementerian PKP yang alih-alih menaungi, justru curiga terhadap pengembang properti menyusul maraknya inspeksi terhadap perumahan subsidi.
Di balik semua tantangan dan kegelisahan ini, ada realitas yang sangat mendasar yang harus
dicari solusinya.
Bahwa 60 persen tenaga kerja Indonesia berpenghasilan tidak tetap (BPS, 2023) dan kesulitan mengakses KPR karena sistem perbankan yang saat ini tidak mengakomodasi mereka dengan maksimal.
Tanpa solusi yang menyasar akar masalah ini, target 3 juta rumah berisiko menjadi proyek simbolis tanpa dampak riil.
Regulasi dan Ketimpangan Akses
Sektor informal yang mencakup pekerja harian, pelaku UMKM, dan freelancer, membentuk
mayoritas backlog perumahan. Namun, perbankan masih mengandalkan metode kaku dalam
menilai kemampuan bayar.
Dalam praktek perbankan saat ini, pendapatan pengusaha mikro yang dianggap dijadikan dasar pemberian KPR hanya diambil 30-40% dari pendapatan dalam pembukuannya, sementara pekerja tetap dapat dihitung dari 50-70% pendapatannya.
Pembedaan perlakuan seperti ini memperlebar kesenjangan, karena kelompok informal adalah pendorong ekonomi yang justru paling membutuhkan dukungan.
Kerentanan ini semakin nyata dari data BPS yang menunjukkan bahwa kelas menengah di Indonesia terus turun dalam 5 tahun terakhir.
Pada 2019 jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 57,33 juta orang, setara 21,45% dari total penduduk.
Setelah itu populasinya terus turun, hingga menjadi 47,85 juta orang atau 17,13% dari total penduduk pada 2024.
Ditambah lagi, Data Pefindo mengindikasikan lebih dari 14 juta warga Indonesia terlilit pinjol dengan Non-performing Loan (NPL) mencapai 5% dan hampir dari setengahnya ada di rentang usia 21-30 tahun.
Data-data ini menjadi alarm besarnya jumlah calon nasabah yang berisiko tidak bisa mendapat akses pendanaan untuk memenuhi kebutuhan hunian.
Sehingga, masalah ini bukan hanya mengakibatkan sulitnya sebagian kalangan untuk memiliki
rumah, tapi juga akses terhadap layanan keuangan secara keseluruhan.
Sebagai contoh, di Indonesia hanya 23% saja masyarakat yang sudah benar-benar mampu mengakses layanan perbankan, jauh lebih kecil dibanding Thailand 37%, Malaysia 45% dan Singapura 60% (Euromonitor).
Bank Indonesia dan Dilema Intervensi Moneter
Langkah Menteri PKP Maruarar Sirait meminta Bank Indonesia (BI) membeli Surat Berharga
Negara (SBN) untuk menutupi defisit anggaran (Tempo, 2025) menuai pro-kontra.
Di satu sisi, injeksi likuiditas melalui program khusus ini bisa langsung terlihat dampaknya. Sebagai contoh, program FLPP yang secara spesifik menyasar MBR dengan program khusus dan terukur.
Di sisi lain, penerbitan SBN secara agresif dalam jangka panjang berisiko memicu crowding-out effect di mana imbal balik SBN yang menarik, minim resiko, dan mudah diakses ini secara berangsur mengedit likuiditas masyarakat yang berinvestasi.
Dengan demikian, pada akhirnya mengurangi likuiditas perbankan, sehingga meningkatkan Cost of Fund dan suku bunga.
Sebagai gambaran, data Kementrian Keuangan menunjukkan bahwa kepemilikan SBN oleh invididu dalam 5 tahun terakhir meningkat lebih dari 4 kali lipat.
Crowding-out effect ini ditengarai sebagai salah satu faktor lesunya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai cermin antusiasme dalam dunia usaha oleh beberapa analis dan manajer investasi dalam beberapa waktu belakangan.
Bahkan, Bursa Saham Indonesia sempat mengalami trading halt akibat penurunan hingga lebih dari 5% dalam sesi I pada 18 Maret 2025 lalu.
Lebih jauh lagi, di tengah keterbatasan kapasitas fiskal untuk mendanai program-program unggulan, pemerintah harus lebih cermat dalam menentukan prioritas.
Program unggulan Presiden Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) serta investasi dalam berbagai sektor strategis seperti diversifikasi energi terbarukan melalui Danantara, memang penting namun manfaatnya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang.
Di antara program-program unggulan pemerintah saat ini, program penyediaan perumahan dapat menawarkan dampak yang lebih langsung dan meluas.
Data BI mencatat, sektor properti menyumbang 14% dari total kredit perbankan (2024). Jika likuiditas terkonsentrasi pada proyek pemerintah seperti program jangka panjang apalagi defisit anggaran dan pembayaran hutang, maka dikuatirkan pengembang swasta, terutama UKM, akan kesulitan bersaing mendapat likuiditas.
Belum lagi tekanan pada nilai tukar rupiah akibat ketergantungan bahan bangunan impor (30% dari total kebutuhan, Kementerian Perdagangan, 2023).
Tanpa kehati-hatian, penerbitan SBN secara agresif dan intervensi BI justru bisa mengorbankan stabilitas makroekonomi yang sudah rapuh.
Cakrawala Inovasi: Memanfaatkan Potensi Sektor Informal
Di tengah kebuntuan regulasi dan intervensi moneter, inisiatif berbasis pasar menawarkan harapan.
Skema Pra KPR (Rent-to-Own), misalnya, dapat digunakan untuk membuktikan rekam jejak kredit tanpa bergantung pada slip gaji dan rekam jejak kolektabilitas di masa lalu, sehingga masyarakat berpenghasilan tidak tetap dan mereka yang masih berusaha recover dari pandemi bisa mendapat penilaian kredit yang lebih baik.
Peserta Pra KPR membayar sewa setara cicilan KPR selama jangka waktu tertentu, sehingga menjadi dasar untuk perhitungan repayment capacity.
Program ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada skema subsidi yang saat ini sangat bergantung pada suntikan likuiditas, tetapi juga membuka akses bagi kelompok yang sebelumnya dianggap tidak bankable.
Rekomendasi untuk Kebijakan yang Berpihak
Agar program 3 juta rumah tidak sekadar jadi wacana, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai terobosan dan kolaborasi-kolaborasi dari sektor swasta.
Suntikan likuiditas bukan satu-satunya solusi, apalagi jika mempertaruhkan kondisi makroprudensial.
Menyadari besarnya populasi masyarakat dengan penghasilan tidak tetap di sektor informal, pemerintah dan regulator keuangan perlu memberi relaksasi kebijakan dan insentif fiskal bagi pengembang yang ingin mengakomodasi masyarakat berpenghasilan tidak tetap.
Terakhir, pemerintah harus senantiasa memperkuat Literasi Keuangan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada pinjaman online (pinjol) yang menjebak 14 juta warga (AFPI, 2024) sampai-sampai menghalangi mereka dari transaksi properti yang memiliki ticket size lebih besar, di mana sektor properti diketahui menggerakan ekonomi dengan keterkaitan pada 185 sub sektor industri lain (Data REI, 2023).
Target 3 juta rumah harus menjadi momentum memperbaiki kondisi sistemik yang selama ini
memarginalkan sektor informal.
Inovasi seperti Pra KPR dapat menjadi solusi berbasis data dan kolaborasi swasta-publik bisa menjadi jalan tengah antara ambisi kebijakan dan realitas lapangan.
Tanpa pendekatan yang inklusif, program ini berisiko mengulang kesalahan masa lalu: membangun rumah, tetapi melupakan manusia yang akan menghuninya.
#ukm #kpr #informal #3-juta-rumah #kementerian-pkp #menteri-pkp