
Menanti Cetak Biru Program 3 Juta Rumah yang Tak Kunjung Terbit
Permintaan blueprint tidak hanya datang dari pengembang, tetapi juga dari Komisi V DPR RI. Halaman all
(Kompas.com) 23/04/25 07:30 46772
KOMPAS.com -Program 3 Juta Rumah per tahun, janji ambisius Presiden Prabowo Subianto sejak kampanye Pilpres 2024, hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar.
Meskipun Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) di bawah kepemimpinan Menteri Maruarar Sirait dan Wakil Menteri Fahri Hamzah telah bekerja lebih dari enam bulan, cetak biru atau blueprint program ini tak kunjung terbit.
Asosiasi pengembang seperti Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) dan Realestat Indonesia (REI) menyuarakan kebingungan dan mendesak kejelasan dari pemerintah.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Apersi Junaidi Abdillah secara terbuka menyampaikan kebutuhan mendesak untuk berdialog dengan Menteri PKP Maruarar Sirait terkait blueprint Program 3 Juta Rumah.
Menurutnya, pengembang hingga kini tidak memiliki panduan jelas mengenai arah program ini, baik untuk pembangunan satu juta rumah di perkotaan maupun dua juta rumah di pedesaan.
“Kita pengennya diajak berbincang, bagaimana sih yang 3 juta rumah ini? Seperti apa sih?” ujar Junaidi sebelum acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Apersi di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Junaidi menyoroti, satu-satunya komponen program yang masih berjalan adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Skema ini memang telah membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memiliki rumah, dengan realisasi sekitar 65.000 unit dari akhir Oktober 2024 hingga 5 Januari 2025. Namun, di luar KPR FLPP, Junaidi menyebut program lain “belum terasa berjalan.”
Ketidakjelasan ini membuat pengembang kesulitan menentukan peran mereka dalam mendukung target ambisius pemerintah.
REI, melalui Ketua Umum Joko Suranto, juga menegaskan pentingnya blueprint untuk memberikan arah yang jelas.
“Kami butuh kejelasan regulasi dan koordinasi lintas kementerian. Tanpa blueprint, pengembang bingung harus bergerak ke mana,” ujarnya dalam diskusi dengan media pada Februari 2025.
Joko menambahkan bahwa backlog perumahan yang mencapai 9,9 juta unit berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2023 menuntut kebijakan yang terperinci dan terkoordinasi, bukan sekadar wacana.
Janji Blueprint yang Berulang Tertunda
Permintaan blueprint tidak hanya datang dari pengembang, tetapi juga dari Komisi V DPR RI.
Pada rapat dengar pendapat 3 Desember 2024, Ketua Komisi V Lasarus dan Wakil Ketua Syaiful Huda mendesak Menteri Maruarar Sirait untuk segera menyerahkan dokumen tersebut.
“Kami belum menerima blueprint terkait program 3 juta rumah. Mohon dijelaskan, karena di anggaran ini tidak dijelaskan,” tegas Lasarus.
Syaiful menambahkan bahwa blueprint diperlukan untuk membangun narasi positif di publik dan memastikan dukungan legislatif.
Maruarar sempat berjanji akan menyelesaikan blueprint pada awal Desember 2024, namun hingga Februari 2025, dokumen tersebut belum diserahkan.
Sementara Wakil Menteri Fahri Hamzah, dalam rapat koordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono pada 8 Januari 2025, menyatakan Kementerian PKP sedang menyiapkan dokumen tersebut dan akan mempresentasikannya saat diundang kembali oleh Komisi V DPR.
“Kita sedang menyiapkan karena DPR yang minta. Nanti kita paparkan di DPR,” ujar Fahri.
Pada 19 April 2025, Maruarar mengonfirmasi bahwa blueprint telah diserahkan ke DPR, dengan sidang pembahasan dijadwalkan pada Mei 2025.
Namun, hingga April 2025, para pengembang yang tergabung dalam asosiasi Apersi dan REI belum melihat dokumen tersebut, memperpanjang ketidakpastian.
Junaidi bahkan menyebut pertemuannya dengan Anggota Satgas Perumahan Bonny Z Minang, yang menyampaikan “buku putih” program, sebagai langkah positif, tetapi ia tetap menegaskan bahwa blueprint resmi harus dikeluarkan oleh Kementerian PKP untuk memiliki legalitas.
Tantangan dan Kritik dari Pengembang
Ketidakjelasan blueprint telah menimbulkan sejumlah dampak negatif. Ketua Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Ari Tri Priyono, menyatakan bahwa pengembang “bingung” tanpa peta jalan yang jelas.
“Kami mau diajak ke mana? Apa kami bantu FLPP atau di sisi lain?” ujarnya pada 18 Februari 2025.
Ketidakpastian ini bahkan memengaruhi pasar, dengan beberapa MBR membatalkan pemesanan rumah atau uang muka karena mengharapkan “rumah gratis” akibat miskomunikasi publik tentang program ini.
Junaidi juga mengkritik pendekatan Kementerian PKP yang dinilai kurang visioner. Dalam acara diskusi Forum Wartawan Perumahan Rakyat pada 27 Februari 2025, ia menyatakan pesimismenya terhadap capaian 3 juta rumah jika pola kerja saat ini berlanjut.
“Banyak hal receh diurusin, tidak visioner. Kami mendukung program Presiden, tapi butuh regulasi yang jelas,” tegasnya.
Apersi juga mengusulkan penyesuaian harga rumah subsidi menjadi maksimal Rp 250 juta untuk memungkinkan pembangunan lebih dekat ke pusat kota, serta alokasi kuota 30 persen untuk MBR dengan penghasilan Rp 12 juta-Rp 14 juta dan 70 perse untuk yang berpenghasilan di bawah Rp 8 juta.
Sementara REI menyoroti kebutuhan koordinasi lintas kementerian dan penyederhanaan birokrasi.
“Urusan perumahan selama ini melibatkan enam kementerian, sehingga memperlambat proses,” ujar Joko.
Ia juga menekankan pentingnya alternatif pembiayaan non-APBN, seperti blended financing melalui Indonesia Green Affordable Housing Programme (IGAHP), untuk mengurangi beban fiskal.
Meski blueprint belum rampung, Kementerian PKP telah mengambil beberapa langkah. Maruarar mengusulkan pembangunan rumah di perkotaan yang terintegrasi dengan transportasi umum sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk mempercepat realisasi.
Ia juga mencari lahan gratis, termasuk dari aset koruptor, dan menjalin kerja sama dengan investor asing, seperti Qatar, yang berkomitmen membangun satu juta unit rumah.
Selain itu, KPR FLPP tetap menjadi andalan, dengan rencana modifikasi skema untuk meningkatkan volume pembiayaan.
Namun, tanpa blueprint yang jelas, langkah-langkah ini dinilai sebagai inisiatif personal menteri, bukan gerakan kelembagaan yang terstruktur.
Syaiful Huda dari Komisi V DPR menegaskan bahwa program sebesar ini membutuhkan “gerak kelembagaan” untuk mencapai target.
Tanpa peta jalan yang solid, visi mulia 3 juta rumah per tahun berisiko menjadi janji yang sulit terwujud, meninggalkan backlog perumahan yang terus membengkak dan impian MBR yang tertunda.
#rumah-subsidi #prabowo-subianto #maruarar-sirait #cetak-biru #blueprint #program-3-juta-rumah #kementerian-perumahan-dan-kawasan-permukiman #menteri-pkp #target-ambisius