
Karut-marut MBG Halaman all
Di balik janji manis MBG, publik menemukan kesemrawutan, ketidaksiapan, dan ironi politik menusuk akal sehat. MBG adalah peluang, tapi juga ujian. Halaman all?page=all
(Kompas.com) 26/04/25 14:00 47803
DI ATAS kertas, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah narasi kemanusiaan yang indah. Negara hadir memberi makan bagi anak-anak bangsa.
Gizi terpenuhi, masa depan terjamin. Namun, di balik janji yang manis itu, publik menemukan kesemrawutan, ketidaksiapan, dan ironi politik yang menusuk akal sehat.
Dicanangkan sebagai program unggulan Presiden Prabowo Subianto, MBG diklaim sebagai bentuk keberpihakan negara kepada kelompok rentan, terutama anak-anak, ibu hamil, dan balita.
Pemerintah menganggarkan Rp 71 triliun untuk 2025, dengan target penyediaan makanan bergizi untuk 83 juta penerima manfaat. Langkah besar, monumental, dan—sayangnya—tidak cukup transparan dan terukur.
Anggaran jumbo, transparansi mini
Apa yang membuat MBG menuai kritik bahkan sebelum benar-benar berjalan? Jawabannya adalah akuntabilitas.
Ketika anggaran Rp 71 triliun diumumkan, publik berhak bertanya: bagaimana pengelolaannya? Siapa yang mengawasi? Apa tolok ukur keberhasilannya?
Di berbagai diskusi kebijakan, para ekonom dari INDEF dan CELIOS sudah mengingatkan: program ini berpotensi menjadi "ladang basah" baru jika tidak dikawal ketat.
Distribusi dana yang besar ke unit-unit bernama SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) dengan nilai Rp 7 miliar hingga Rp 10 miliar per unit justru menambah ruang untuk penyelewengan, bukan kepastian gizi.
Belum lagi jika dihitung berapa persen dari anggaran yang benar-benar sampai ke perut anak-anak.
Kita ingat bagaimana program makan gratis di masa lalu sering kali bermuara pada proyek fiktif, pengadaan siluman, dan makanan basi di lapangan. Alih-alih menyehatkan, justru bisa mencederai. Pelajaran itu seolah diabaikan.
MBG dalam konstruksi politik kekuasaan adalah simbol. Ia lebih merupakan manuver pencitraan daripada kebijakan publik yang matang.
Di tengah tekanan publik pasca-Pemilu yang sarat kontroversi, program ini tampil seperti tameng moral. Bahwa rezim ini peduli, bahwa negara tidak abai. Namun, simbol tidak cukup. Bangsa ini sudah kenyang dengan kebijakan kosmetik.
Program sebesar ini seharusnya dimulai dengan pilot project yang serius, data gizi yang akurat, dan evaluasi sistemik. Namun yang terjadi, pemerintah justru mendahulukan seremoni dan alokasi anggaran jumbo sebelum sistemnya siap.
Seorang kepala daerah di Jawa menyampaikan keluhannya kepada media: "Kami belum tahu mekanisme distribusinya, tetapi kami diminta mendukung penuh."
Ini bukan anekdot, ini potret sistem birokrasi yang dibutakan oleh euforia politik pusat.
https://nasional.kompas.com/read/2025/04/26/07000091/karut-marut-mbg?page=all