
Kala Lahan Sawah Makin Menyusut dan Beralih Jadi Hutan Beton Perumahan
Lahan sawah seluas 100.000 hektare hingga 150.000 hektare beralih fungsi menjadi perumahan setiap tahun
(Bisnis.Com) 30/04/25 11:00 48783
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah berupaya mengendalikan alih fungsi lahan sawah di tengah lahan yang makin terbatas. Pasalnya, banyaknya lahan sawah yang susut dan beralih fungsi menjadi lahan perumahan.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen padi di 2024 diproyeksikan mencapai 10,04 juta hektare. Angka ini mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 10,2 juta.
Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan mengatakan penyusutan lahan sawah yang mencapai puluhan ribu hektare dalam beberapa tahun terakhir.
"Penyusutan lahan sawah yang mencapai 79.607 hektare dalam lima tahun terakhir adalah ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional," ujarnya dikutip Rabu (30/4/2025).
Pemerintah akan merevisi Perpres Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, dengan beberapa fokus utama. Pemerintah akan memperkuat koordinasi antara pusat dan daerah untuk memastikan implementasi kebijakan yang lebih efektif dan selaras dengan kebutuhan nasional.
Kemudian, pemerintah akan melakukan pemantauan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan di lapangan untuk 8 provinsi yang telah ditetapkan sebagai lahan sawah yang dilindungi (LSD). Adapun usulan LSD 12 provinsi yang telah dibahas dan dikaji kementerian, badan, dan lembaga terkait pada 2024 akan segera ditetapkan sebagai kebijakan untuk mempercepat pencapaian swasembada pangan tahun 2027.
Selain itu, pemerintah juga akan menyelaraskan kebijakan LSD dan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) agar lebih efektif dalam mengendalikan alih fungsi lahan. Untuk mendorong partisipasi aktif dari petani dan pemilik lahan, pemerintah akan menyediakan insentif bagi mereka guna mengurangi laju perubahan alih fungsi lahan pertanian.
Pemerintah daerah juga akan diberikan insentif melalui skema dana alokasi khusus (DAK) berdasarkan pencapaian target produksi pangan dan perlindungan lahan sawah. Pemerintah juga akan meningkatkan pengawasan terhadap usulan perubahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang diajukan oleh Pemerintah Daerah khususnya pada perubahan fungsi lahan sawah yang dilindungi.
Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap perubahan mengacu pada LSD yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
"Perhatian juga untuk para pemerintah daerah betul-betul diminta kerjasamanya agar tidak merubah atau mengalihfungsikan sawah-sawah menjadi penggunaan lain," kata Zulkifli.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menuturkan lahan sawah seluas 100.000 hektare hingga 150.000 hektare beralih fungsi menjadi perumahan setiap tahun
Menurutnya, terdapat 73.432 hektare lahan indikasi tanah terlantar yang bisa digunakan untuk perumahan. Hal ini tentu bisa membantu realisasi program 3 juta rumah.
"Saya akan menyampaikan peta tanah yang telah kami tetapkan menjadi tanah terlantar yang bisa dipakai untuk menunjang program perumahan," ucapnya.
Menurutnya, apabila ingin mendukung program 3 juta rumah, maka pemerintah perlu menyediakan lahan dengan harga yang murah. Lahan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah lahan pertanian. Namun, negara menentang keras penggunaan lahan pertanian seperti sawah untuk dipakai sebagai perumahan. Sebab, pemakaian lahan sawah menjadi perumahan atau fungsi lain berseberangan dengan tujuan pemerintah yang tengah mengusahakan
Kementerian ATR/BPN membuat rumusan untuk melindungi lahan persawahan tersebut agar tidak cepat menyusut imbas permintaan perumahan yang semakin tinggi. Pihaknya memiliki peta data lahan baku sawah (LBS) yakni lahan baru, sama dengan lahan eksisting yang sudah terpetakan dari awal yakni sekitar 8,5 juta hektare. LBS ini merupakan data yang belum terupdate dengan kondisi di lapangan.
Pihaknya tak menampik banyak lahan sawah telah beralih fungsi menjadi tempat berdirinya bangunan, jalan, dan lainnya. Tanah-tanah yang sudah berubah fungsi tersebut akan masuk dalam data yang mereka sebut sebagai LSD.
"Hasil verifikasi ulang secara fisik menunjukkan adanya perubahan, LSD menyisakan sekitar 92% hingga 93% dari LBS, jadi sekitar 7% sudah hilang," tuturnya.
Di sisi lain, terdapat LP2B yakni sawah yang sudah direkomendasikan oleh Bupati sebagai lahan pertanian permanen, atau akan menjadi lokasi persawahan selamanya. Dari pemetaan, terdapat nilai LBS sebesar 100% lahan untuk sawah yakni 8,5 juta. Lalu jumlah LSD sudah berkurang karena adanya peralihan fungsi menjadi 93%.
"Nilai sawah yang harus dipertahankan atau LP2B adalah 87% dari LSD. Maka, dari itu, selisih antara LSD dengan LP2B adalah 13 persen yang bisa digunakan sebagai lahan kosong yang bisa dimanfaatkan tetapi tidak bisa digunakan semua untuk perumahan. Untuk perumahan yang bisa kita pakai ada sekitar 73.432 hektare," terangnya.
Dia menegaskan lahan sawah tidak boleh dipakai untuk perumahan termasuk lahan yang termasuk LSD. Jika terlanjur membeli lahan sawah, maka pengembang harus menggantinya dengan lahan yang produktivitasnya sama.
"Ya kalau dia LSD nggak bisa dibangun rumah, kalau dia udah kadung beli ya beli untuk tanamin jagung atau tanamin padi. Enggak boleh tanamin batu bata, apalagi kalau sudah LP2B. Dia harus mengganti lahan dengan produktivitas yang sama," ujar Nusron.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait menegaskan lahan persawahan tidak boleh dialihfungsikan menjadi area perumahan. Hal ini supaya masih ada lahan yang bisa dimanfaatkan untuk ketahanan pangan.
"Kita memang mau membangun rumah buat rakyat tapi kita juga mau ketahanan pangan, kita mau swasmbada pangan. Jadi betul tidak boleh Pak persawahan dibuat perumahan," katanya.
Pihaknya tak menampik kebutuhan perumahan, yang terus meningkat, terutama di kota-kota besar, yang lahannya semakin terbatas. Namun, masalah itu tidak boleh diselesaikan dengan mengorbankan produksi pangan.
"Tantangan kita memang berat, jangan nanti kita menyelesaikan masalah perumahan dengan cara sawah dijadikan rumah, nanti soal pangan menjadi masalah karena lahan sawah dijadikan rumah sehingga produksi pangan turun," ucap Maruarar.
Ketersediaan lahan menjadi faktor penting bagi pembangunan perumahan rakyat, Kementerian PKP akan berupaya mencarikan lahan yang baik dan bisa juga cukup strategis tetapi bukan lahan persawahan.
Adapun para pengembang mengeluhkan soal lahan perumahan yang semakin terbatas di Jawa Barat dikarenakan lahan persawahan yang tidak boleh digunakan untuk pembangunan perumahan.
KEPASTIAN LAHAN
Terpisah, Direktur PT Bangun Famili Sejahtera Hari Purnomo menuturkan aturan mengenai lahan persawahan tak boleh digunakan sebagai area perumahan sangat memberatkan dan menghambat pengembang.
Pihaknya telah membebaskan lahan yang berada di Bekasi, Jawa Barat untuk dibangun perumahan karena berada di zona kuning, yaitu area yang diperuntukkan permukiman. Namun, sebagian besar lahan itu merupakan area persawahan yang kini tak boleh lagi dialihfungsikan sebagai perumahan.
Dia berharap pemerintah memberikan kepastian lahan untuk program 3 juta rumah termasuk rumah bersubsidi.
"Nah, sekarang kendalanya tidak mungkin kita sebagai pengembang membebaskan tanah darat di daerah Bekasi. Satu, tidak ada lagi yang luas dan zonanya yang kuning sudah habis sedangkan kita sudah membebaskan sebagian besar lahan sawah yang zonanya kuning," tuturnya kepada Bisnis.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah menuturkan pada prinsipnya, pengembang properti setuju membangun rumah di atas lahan sesuai dengan peruntukan bukan di lahan produktif seperti sawah.
Namun demikian, salah satu kendala di industri properti khususnya segmen rumah subsidi terkait aturan LSD. Hal ini karena aturan LSD membuat investasi pengembang terkait lahan menjadi tidak jelas karena ada beberapa pengembang yang sudah mendapatkan izin ternyata terganjal aturan ini.
Wakil Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Bambang Eka Jaya mngatakan untuk area sawah yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sepanjang perutukan sawah memang harus dipertahankan. Terlebih dengan target swasembada pangan.
Menurutnya, yang terpenting konsistensi RTRWnya harus sesuai aturan dan tidak berubah-ubah serta revisi harus per periodik.
"Pemerintah harus memberikan kepastian lahan untuk pengembang agar tidak menggunakan lahan sawah," ujarnya kepada Bisnis.
CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menuturkan lahan bekas sawah seharusnya tidak dialih fungsikan menjadi lokasi pembangunan rumah. Hal ini dikarenakan kondisi tanah yang tidak solid dan kualitas air yang tak bagus.
"Tanah sawah memang nggak bagus. Secara fisiknya tanah sawah nggak bagus. Air tanahnya nggak bagus. Lalu juga kekuatan tanahnya juga perlu dipadetinnya juga banyak. Karena lama-lama turun-turun," ucapnya kepada Bisnis.
Namun, Ali memahami alasan mengapa tanah bekas sawah tetap diminati adalah karena kebutuhan lahan yang meningkat dan harganya yang lebih terjangkau.
#alih-fungsi-sawah #alih-fungsi-lahan #perumahan #sawah #program-3-juta-rumah #program-3-juta-hektare-sawah #swasembada-pangan #lsd