Paradigma Baru dalam Memenuhi Kebutuhan Hunian Rakyat Halaman all

Paradigma Baru dalam Memenuhi Kebutuhan Hunian Rakyat Halaman all

Inovasi dan kerjasama semua pihak sangat dibutuhkan untuk memenuhi target pemenuhan 3 juta rumah per tahun yang telah dicanangkan pemerintah. Halaman all

(Kompas.com) 09/12/24 08:39 6775

PELAKU industri real estat dan masyarakat menyambut gembira gebrakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam upaya memenuhi kebutuhan hunian.

Sebagaimana diketahui, pembangunan hunian telah diamanatkan dalam UUD 1945 dan merupakan industri dengan efek berganda pada 185 sektor industri lainnya.

Pembentukan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (KPKP), dan Kementerian Koordinator Infrastuktur dan Pembangunan Kewilayahan (KKBIPW) merupakan langkah yang dinanti.

Menjawab kebutuhan hunian di tengah kondisi-kondisi saat ini memang tidak mudah. Data menunjukkan; backlog rumah masih berada pada angka dua digit atau sebesar 10,7 juta rumah.

KPKP kemudian mengambil langkah untuk mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 48,4 triliun atau hampir 10 kali lipat dari anggaran sebelumnya.

Upaya ini tentu bagian dari strategi memenuhi target Program 3 Juta Rumah per tahun yang telah dicanangkan.

Target ini tentu saja bukan angka yang kecil, dan mudah dicapai. Sebagai perbandingan, tahun 2023 jumlah rumah subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebanyak 223.000 unit, merupakan angka terbesar yang pernah dicapai oleh pemerintah sebelumnya.

Target ambisius memang penting untuk dicanangkan. Selain karena besarnya kebutuhan hunian yang tecermin pada data backlog, juga untuk menjaga kepercayaan dan dukungan publik terhadap kebijakan pemerintah.

Terutama dalam menarik dan menghimpun dana dari masyarakat seperti program BP Tapera dan kenaikan PPN.

Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai terobosan, bahkan paradigma baru agar target yang demikian besar dapat menjadi lebih realistis untuk dicapai.

Perubahan paradigma bentuk intervensi

Subsidi pembiayaan bukanlah satu-satunya bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah.

Banyak upaya yang dapat membantu masyarakat memiliki rumah antara lain meringkankan pajak dan bea-bea seputar transaksi serta pengadaan lahan oleh negara.

KPKP telah membuka pembicaraan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membahas kenaikan anggaran.

Namun, selain peningkatan anggaran, pajak dan bea seputar transaksi hunian adalah topik yang tidak boleh terlewatkan.

Komponen-komponen biaya seputar transaksi hunian mengambil persentase cukup besar antara lain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan meningkat menjadi 12 persen mulai tahun 2025, Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 1 persen atau 2,5 persen, serta Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5 persen.

Pemerintah telah memulai dengan ditekennya Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Menteri PKP Maruarar Sirait, dan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengenai pembebasan biaya retribusi BPHTB dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk hunian Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Adapun kriteria rumah MBR yang mendapatkan pembebasan retribusi tersebut masih mengacu pada peraturan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 22/Kpts/M/2023.

Intervensi lain yang mendesak untuk dipertimbangkan dan dipersiapkan adalah penyediaan lahan oleh negara.

Selama ini, negara tidak mengambil peranan dalam proses pengadaan dan produksi hunian melalui mekanisme seperti FLPP dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM).

Penyediaan lahan, konstruksi bangunan, serta sarana dan prasarana kawasan hunian sepenuhnya menjadi beban pengembang yang pada akhirnya akan dibebankan ke dalam harga jual konsumen.

Mekanisme FLPP hanya mensyaratkan batasan harga. Oleh karena itu, inisiatif Kementerian PKP untuk menyediakan lahan dapat memembantu akselerasi penyediaan hunian.

Payung hukum yang menjamin hak-hak penghuni yang selama ini menjadi ganjalan juga telah disiapkan pada masa pemerintahan sebelumnya yaitu Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung yang telah diturunkan hingga Keputusan Menteri (Kepmen PUPR No 17 tahun 2021).

Keberadaan SKBG telah didesain untuk mendorong pola hunian vertikal di atas lahan-lahan milik negara, sehingga kementerian saat ini hanya perlu mengakselerasi dan memaksimalkannya untuk penyediaan hunian bagi masyarakat.

Perluasan sasaran penerima bantuan

Besaran bantuan melalui skema FLPP saat ini hampir setara dengan nilai rumahnya sendiri. Sebagai contoh, pada tahun 2023 realisasi bantuan FLPP sebesar Rp 26,3 triliun dinikmati oleh 229.000 konsumen.

Angka ini ekuivalen dengan Rp 115 juta nilai manfaat per transaksi, di mana harga unit rumahnya sendiri dipatok maksimal sebesar Rp 185 juta (untuk Jabodetabek).

Dari sini bisa kita lihat betapa nilai manfaat per hunian menjadi sangat besar dibanding harga rumahnya itu sendiri.

Target pemerintah untuk membantu 3 juta rumah akan membutuhkan dana 15 kali lipat dari Rp 26,3 triliun jika hanya mengandalkan skema yang sama.

Salah satu strategi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah adalah memperbesar sasaran penerima manfaat bantuan dengan memperkecil nilai bantuan per penerima.

Penerima bantuan dapat diperluas dari bracket penghasilan, yang saat ini terbatas pada masyarakat berpenghasilan maksimal Rp 8 juta (penghasilan gabungan suami istri).

Kelas menengah dengan penghasilan di atas jumlah ini juga perlu dibantu dengan mempertimbangkan setidaknya dua alasan.

Pertama, dengan tingkat penghasilan mereka, nilai bantuan bisa lebih kecil karena mereka sendiri memiliki daya beli yang lebih besar sehingga tidak akan sepenuhnya bergantung pada subsidi.

Kedua, perluasan rentang penerima manfaat menjadi sangat penting untuk menjaga kepercayaan dan dukungan untuk rencana pelaksanaan simpanan wajib BP Tapera yang telah menjadi amanat undang-undang dan peraturan pemerintah.

Sedikit bantuan bagi kelas menengah dapat menghasilkan efek perubahan yang lebih besar.

Perubahan paradigma skema kepemilikan

Tercapainya target 3 juta rumah tidak akan terwujud tanpa akses pembiayaan, di mana pekerjaan tetap dan kolektabilitas menjadi salah satu pertimbangan utama dalam meloloskan pengajuan KPR.

Karena itu, banyaknya masyarakat yang memiliki penghasilan dari bidang informal, serta masyarakat yang terlilit oleh pinjol akan menjadi tantangan pemerintah.

Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024 menunjukkan, dari 142,18 juta orang yang bekerja, sebanyak 59,17 persen penduduk yang bekerja di kegiatan informal (84,13 juta orang).

Sementara data Pefindo mengindikasikan lebih dari 14 juta warga Indonesia terlilit pinjol dengan Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet mencapai 5 persen dan hampir dari setengahnya ada pada rentang usia 21-30 tahun.

Data-data ini menjadi alarm besarnya jumlah calon nasabah yang berisiko tidak bisa mendapat akses pendanaan untuk memenuhi kebutuhan hunian.

Masalah ini seperti fenomena gunung es yang sangat besar dan untuk menanggulanginya diperlukan perubahan paradigma mengenai skema kepemilikan, pembiayaan, dan penilaian kemampuan nasabah untuk membayar.

Salah satu perubahan paradigma tersebut hadir dalam skema sewa jadi milik atau Rent-to-own (RTO) yang dirancang sebagai jembatan pra-Kredit Pemilikan Rumah (KPR) konvensional.

Cara kerjanya, masa Pra-KPR dilihat sebagai rekam jejak kemampuan membayar sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan pemberian fasilitas pembiayaan konvensional pada masa depan seperti KPR.

Selama masa pra-KPR ini, nasabah setiap bulannnya dikenai biaya sewa dan sebagian nilai kepemilikan, yang nantinya akan mengurangi nilai plafon pinjaman.

Kedisiplinan membayar biaya bulanan inilah yang dapat dijadikan pertimbangan, sehingga nasabah dapat “lulus” ke pembiayaan konvensional.

Skema ini juga menghindari bank dari risiko pada awal-awal masa tenor yang dianggap sebagai masa kritis.

Karena pada masa pra-KPR ini status kepemilikan belum beralih kepada nasabah, proses pengalihan ke nasabah berikutnya jika diperlukan, dapat dilakukan dengan lebih mudah.

Paradigma baru yang ditawarkan skema RTO merupakan kesempatan bagi nasabah untuk memperbaiki kolektabilitas dan kondisi keuangan selama masa pra-KPR.

Setelah mengikuti skema sewa jadi milik ini, nasabah diharapkan menjadi layak untuk mendapat fasilitas pembiayaan konvensional seperti KPR.

Kemudahan yang ditawarkan oleh skema RTO, memungkinkan nasabah yang belum memenuhi persyaratan KPR untuk dapat menghuni rumah idamanannya, menghindari kenaikan harga, dan memberi motivasi untuk kehidupan yang lebih baik baik.

Inovasi dan kerjasama semua pihak sangat dibutuhkan untuk memenuhi target pemenuhan 3 juta rumah per tahun.

#real-estat-indonesia-rei #real-estat #kementerian-perumahan-dan-kawasan-permukiman #kementerian-koordinator-bidang-infrastruktur-dan-pembangunan-kewilayahan-kkbipw #paradigma-baru-perumahan

https://www.kompas.com/properti/read/2024/12/09/083947721/paradigma-baru-dalam-memenuhi-kebutuhan-hunian-rakyat?page=all&utm_source=Google&utm_medium=Newstand&utm_campaign=partner