Oleh: Iwan Saskiawan*
PROGRAMMakan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi prioritas pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming akan menyasar 82,9 juta penerima selama lima tahun ke depan.
Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana mengatakan, program MBG salah satu investasi terhadap sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Pelaksanaan program ini tentunya membutuhkan sumber bahan makanan lokal yang bernilai gizi, mudah didapatkan, dan murah harganya mengingat dana yang tersedia sangat terbatas.
Salah satu bahan makanan yang mengandung zat gizi lengkap dan memenuhi persyaratan untuk pengadaannya adalah jamur pangan.
Jamur pangan (edible mushroom) merupakan salah satu sumber bahan pangan yang sudah dikenal masyarakat sejak abad pertengahan.
Saat ini, jamur pangan banyak dibudidayakan di Indonesia dengan menggunakan serbuk gergaji atau limbah pertanian sebagai media tanam (Saskiawan, et al. 2016).
Di Indonesia ada beberapa jenis jamur pangan yang sudah biasa dikonsumsi masyarakat, di antaranya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur merang (Volvariela volvacea), jamur kuping (Auricularia sp.), jamur kancing (Agaricus sp.), dan jamur shitake (Lentinula edudes).
Ke lima jenis jamur ini sudah bisa dibudidayakan di Indonesia dengan mudah. Selain itu, ada beberapa jenis jamur yang diimpor dari negara lain karena secara ekonomis belum bisa dibudidayakan di Indonesia seperti jamur enoki (Flamulina velutipes).
Selain cita rasa dan nilai gizinya yang tinggi, jamur pangan juga dikenal menghasilkan senyawa bioaktif yang berperan sebagai imunomodulator bagi tubuh kita ((Yang dkk. 2009 dan Zhang dkk. 2011).
Beberapa jenis jamur yang digunakan sebagai bahan baku obat adalah jamur lingzhi (Ganoderma lucidum) dan jamur cordyceps.
Secara kuantitatif, kandungan protein yang ada di jamur pangan memang jauh lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi, yaitu 3,92 gram per 100 gram pada jamur pangan dan 20,47 gram pada daging sapi.
Namun, jamur pangan layak digunakan sebagai pengganti protein hewani. Protein dalam jamur pangan mengandung seluruh sembilan asam amino esensial (Esssential Amino Acids, EAAs), hal yang tidak ditemukan pada hampir seluruh jenis protein nabati.
Selanjutnya, jamur pangan juga mempunyai asam amino rantai cabang tinggi (High Branced-Chain Amino Acid, BCAA) yang biasanya hanya ditemukan pada protein hewani.
Protein pada jamur pangan secara kualitas hampir sama dengan protein pada daging. Menurut WHO/FAO, dari beberapa karakter protein seperti daya cerna protein secara in vitro (in vitro protein digestibility, IVPD), daya cerna protein berdasar asam amino score (protein digestibility corrected amino acid score, PDCAAS), asam amino esensial index (essential amino acid index, EAAI) dan rasio efisiensi protein (protein efficiency ratios, PER) pada jamur pangan setara dengan yang terdapat pada ovalbumin (protein pada putih telur) dan jauh mengungguli protein pada kacang kedelai dan gandum.
Penelitian juga menunjukkan bahwa pada jamur pangan segar dan olahan menunjukkan kualitas protein yang masih terjaga.
Studi yang dilakukan tentang tingkat kekenyangan antara konsumsi jamur pangan dan daging menunjukan bahwa sebagian responden merasa lebih kenyang. Mereka mengaku tidak ingin meneruskan makan setelah mereka mengonsumsi jamur pangan dibandingkan mengonsumsi daging.
Selain itu, 72 persen lemak pada jamur pangan termasuk jenis lemak tidak jenuh. Jamur juga mengandung berbagai jenis vitamin, antara lain B1 (thiamine), B2 (riboflavin), niasin dan biotin.
Selain elemen mikro, jamur juga mengandung berbagai jenis mineral, antara lain K, P, Ca, Na, Mg, Se dan Cu.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rekayasa media tanam pada jamur tiram dapat meningkatkan kandungan mineral seperti Selenium (Se) dan seng (Zn) dalam tubuh buahnya.
Ke dua mikro mineral tersebut diperlukan untuk pertumbuhan balita, sehingga dapat digunakan untuk pencegahan stunting.
Jumlah kandungan seratnya yang berkisar antara 7,4 -24,6 persen sangat baik untuk pencernaan.
Jamur juga mempunyai kandungan kalori yang sangat rendah sehingga cocok bagi pelaku diet (Gonzales, et. al 2020).
Jamur pangan yang kita konsumsi sebenarnya merupakan tubuh buah dari jamur golongan Basidiomycota yang berukuran makroskopis dan merupakan organ yang menghasilkan spora untuk perkembang biakan jamur tersebut.
Tubuh buah tersebut merupakan struktur reproduksi jamur yang menghasilkan spora, semacam biji pada tumbuhan untuk perkembangbiakan jamur.
Dalam ilmu taksonomi atau ilmu pengelompokan mahluk hidup, jamur pangan digolongkan dalam kelompok tersendiri yang merupakan peralihan antara tumbuhan dan hewan.
Sehingga nilai gizi dari jamur pangan ini lebih menyerupai nilai gizi pada hewan, meskipun dalam komoditas pertanian jamur pangan digolongkan sebagai sayuran (hortikultura).
Saat ini berbagai jenis jamur pangan sudah dibudidayakan oleh masyarakat. Cara budidaya yang bisa dilakukan dengan tehnologi sederhana, tanpa memerlukan lahan yang luas, menggunakan limbah organik untuk media tanam serta sisa media tanam yang bisa digunakan sebagai pupuk organik.
Selain dapat sebagai komoditas untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, budidaya jamur juga dapat menambah pendapatan masyarakat.
Jamur tiram putih dan jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang banyak dibudidayakan masyarakat.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi jamur tiram putih secara nasional pada tahun 2022 adalah 527.758 Kg, sedangkan jamur merang adalah 82.609 Kg.
Daerah penghasil jamur tiram terbesar adalah Jawa Barat (146.530 Kg), kemudian Jawa Timur dan Jawa Tengah masing-masing 140.044 Kg dan 109.103 Kg.
Sedangkan untuk jamur merang Jawa Barat dan Jawa Timur menjadi produsen terbesar dengan produksi masing-masing 53.409 Kg dan 22.213 Kg.
Pada 2023, produksi nasional jamur tiram meningkat menjadi 537.866 Kg, sedangkan jamur merang justru mengalami penurunan menjadi 46.410 Kg.
Salah satu kelemahan jamur pangan adalah mempunyai life time yang pendek sehingga lebih mudah mengalami kerusakan pada penyimpanan suhu kamar.
Meskipun demikian, beberapa jenis jamur pangan dapat diolah menjadi produk pangan seperti patty jamur, bubur MPASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu), bakso jamur, mie jamur, nugget jamur dan produk lainnya sehingga lebih awet dalam penyimpanan tanpa mengurangi nilai gizi dari jamur tersebut.
Kelompok Riset Jamur Edible, Pusat Riset Mikrobiologi Terapan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mempunyai kegiatan penelitian tentang biologi budidaya jamur pangan untuk mendapatkan produktivitas jamur yang tinggi dan pengembangan teknologi jamur pangan jenis baru yang selama ini belum dibudidayakan.
Selain itu, Kelompok Riset ini juga melakukan penelitian tentang nilai gizi dan senyawa aktif yang terdapat dalam jamur pangan yang berguna untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jamur pangan mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan lokal pada program Makan Bergizi Gratis dengan berbagai alasan.
Di antaranya nilai gizi jamur pangan dan bisa digunakan sebagai sumber protein nabati yang kualitasnya mirip sumber protein hewani.
Selain itu, jamur pangan sangat mudah dan cepat dibudidayakan, dapat dibuat beberapa produk olahan dengan berbagai cita rasa dan sebagaian masyarakat sudah mengenal jamur sebagai bahan pangan.
*Peneliti Jamur Pangan, Pusat Riset Mikrobiologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)