
Bahaya Wacana Zakat untuk Makan Bergizi Gratis & Nasib Program Prabowo
Penggunaan dana non-APBN untuk makan bergizi gratis dinilai berisiko. Selain itu, akuntabilitas keuangan patut dipertanyakan. [900] url asal
#analisis #makan-bergizi-gratis #prabowo-subianto #mbg
(CNN Indonesia) 16/01/25 11:18
v/17886/

Wacana pemanfaatan dana non-APBN untuk membiayai program makan bergizi gratis (MBG) yang jadi andalan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mulai muncul.
Ketua DPD RI Sultan B Najamuddin mendorong keterlibatan masyarakat dalam biaya program makan bergizi gratis, salah satunya lewat pendanaan yang bersumber pada zakat.
"Saya melihat ada DNA dari negara kita, dari masyarakat Indonesia itu kan dermawan, gotong royong. Nah, kenapa enggak ini justru kita manfaatkan juga," kata Sultan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/1).
"Contoh bagaimana kita menstimulus agar masyarakat umum pun terlibat di program makan bergizi gratis ini. Di antaranya adalah saya kemarin juga berpikir kenapa enggak ya, zakat kita yang luar biasa besarnya juga kita mau libatkan ke sana. Itu salah satu contoh," imbuh dia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengingatkan agar usul penggunaan dana zakat itu dikaji lebih dalam. Ketua MUI Bidang Dakwah Cholil Nafis mengatakan tak semua siswa sekolah miskin, sehingga tak sesuai dengan ketentuan pemberian zakat.
"Baiknya dikaji dulu. Karena dana zakat itu hanya untuk delapan macam [penerima] yang sudah ditentukan," kata Cholil kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/1).
PBNU juga berpendapat serupa. Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menilai lebih baik dana infak dan sedekah yang digunakan untuk membantu program tersebut.
Ia menuturkan pemanfaatan dana infak dan sedekah lebih longgar ketimbang penggunaan dana zakat.
"Saya kira kalau zakat ini mungkin perlu lebih dirinci. Karena zakat ini harus diterima oleh kelompok-kelompok yang spesifik yang di dalam wacana fikih sebagai kelompok-kelompok yang menjadi target yang diperbolehkan menerima zakat, tidak semua orang boleh ikut menerima," kata Gus Yahya.
Gus Yahya menerangkan penerima zakat telah diatur. Menurut ketentuan agama, ada delapan asnaf yang boleh mendapatkan manfaat zakat, di antaranya fakir, miskin, riqab atau hamba sahaya.
Merespons wacana itu,Kepala Staf Presiden (KSP) AM Putranto memastikan program MBG tidak akan menggunakan dana zakat. Menurutnya, sangat memalukan jika pemerintahan Prabowo memakai dana zakat untuk menyokong makan bergizi gratis.
"Tidak ambil ke dana yang lain-lain, beliau [Prabowo] sudah betul-betul luar biasa. Jadi tak ada dibilang ambil dari mana? Zakat. Wah itu sangat memalukan itu ya. Bukan seperti itu kami," kata Putranto di Kantor KSP, Jakarta, Rabu (15/1).
Putranto mengatakan dana makan bergizi gratis ditanggung APBN. Ia menegaskan Presiden Prabowo telah menganggarkan sebesar Rp71 triliun untuk makan bergizi gratis tahun 2025.
Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai ide menggunakan dana non-APBN untuk makan bergizi gratis mungkin muncul dari niat untuk membantu pemerintah mempercepat pelaksanaan program.
Namun, kata dia, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan secara mendalam sebelum ide itu diimplementasikan. Pertama, zakat, infak, dan sedekah adalah dana yang bersifat sukarela dan memiliki alokasi tertentu dalam syariat Islam.
Dana zakat memiliki delapan asnaf atau golongan penerima yang sudah diatur, salah satunya adalah fakir miskin. Pemberian dana zakat tak sesuai ketentuan bisa menimbulkan polemik.
"Apakah penggunaan dana zakat untuk program MBG memenuhi kriteria ini? Jika tidak, apakah ini akan menimbulkan polemik di kalangan masyarakat yang memberikan dana zakat mereka dengan niat tertentu?" kata Achmad saat dihubungi, Kamis (16/1).
Kedua, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana non-APBN patut dipertanyakan. Achmad mengatakan jika dana zakat dan infak digunakan untuk program pemerintah, mekanisme pelaporan dan pengawasan harus jelas untuk memastikan dana tersebut benar-benar sampai kepada yang membutuhkan.
"Kegagalan dalam hal ini dapat menimbulkan kecurigaan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap program MBG maupun institusi yang mengelola zakat," ujarnya.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Politik Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, mengatakan dana non-APBN boleh saja menanggung program MBG, tetapi kewajiban tetap ada pada pemerintah lewat APBN.
Didik menyebut selama ini praktik memberi makanan sesama warga sudah banyak terjadi di lapangan tetapi belum terstruktur.
"Paramadina itu setiap minggu walau terbatas orangnya, sudah puluhan tahun kasih makan gratis ke orang. Masjid di Yogyakarta itu sudah belasan tahun, justru yang seperti ini harus digelorakan bersama-sama," kata dia.
Namun, kata Didik, jika pemerintah mau menggunakan dana zakat, maka lebih baik zakat yang tidak disalurkan lewat badan amil.
"Tapi zakat-zakat yang tidak lewat badan amil zakat pemerintah, itu boleh dijalankan, masyarakat lah gotong royong, tapi sukarela, kalau negara wajib," ujarnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik PH&H Public Policy Interest Group Agus Pambagio mengatakan secara hukum, menggunakan dana non-APBN seperti zakat dan infak memang tidak melanggar. Namun, Agus menyebut hal itu tidak benar secara tata kelola.
"Kalau organisasi merelakan, ya silakan, tentu umatnya harus rela, saya katakan ini tidak melanggar hukum tapi tata kelolanya enggak bener. Makan gratis ini dibiayai APBN," katanya.
Achmad Nur Hidayat berpendapat mengandalkan dana non-APBN untuk program sebesar MBG tentu berisiko.
Pertama, sifat sukarela dari dana zakat, infak, dan sedekah membuat pendanaannya tidak stabil. Jika target penerimaan dari sumber-sumber ini tidak tercapai, kelangsungan program bisa terancam.
Kedua, penggunaan dana non-APBN untuk program pemerintah dapat menimbulkan pertanyaan tentang komitmen negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya.
"Jika pemerintah terlalu mengandalkan dana dari masyarakat, maka kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah untuk memenuhi janji kampanye dapat menurun," kata Achmad.
Ia menilai penggunaan dana non-APBN untuk mendukung program MBG harus menjadi opsi terakhir, bukan solusi utama.
Pemerintah, kata Achmad, harus berusaha maksimal untuk memenuhi kebutuhan anggaran melalui APBN seperti yang dijanjikan dalam kampanye.
Achmad menyebut wacana penggunaan dana zakat dan infak, meskipun berpotensi membantu, harus dipertimbangkan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kontroversi atau merusak kepercayaan masyarakat.
"Prabowo dan pemerintahannya masih dalam masa awal pemerintahan, dan publik tentu ingin melihat janji-janji kampanye direalisasikan sesuai dengan visi besar yang diusung," ujarnya.

Menelisik Risiko Bangun 3 Juta Rumah Prabowo di Lahan Sitaan dan BUMN
Pemakaian lahan sitaan dan BUMN untuk program 3 juta rumah tak masalah asal tidak terjadi penyelewengan oleh pemerintah maupun swasta. [892] url asal
#analisis #program-3-juta-rumah #prabowo #maruarar-sirait #kementerian-perumahan-dan-kawasan-permukiman #kai #bumn #lahan-sitaan
(CNN Indonesia) 24/10/24 14:00
v/938/

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait mendapat tugas dari Presiden Prabowo Subianto untuk bergerak cepat mengeksekusi program 3 juta rumah untuk perumahan rakyat.
Salah satu strategi yang ia bakal lakukan adalah membangun rumah tersebut di atas tanah milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta aset sitaan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pria yang akrab disapa Ara itu menegaskan butuh waktu untuk mempersiapkan pelaksanaan strategi tersebut, mulai dari konsep hingga aturan hukum.
Menurutnya, pengadaan lahan menjadi salah satu perhatian dalam rencana membangun 3 juta rumah per tahun. Di sisi lain, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman juga mesti menyiapkan landasan hukum yang kuat.
"Pengadaan lahan itu tentu sedapat mungkin kita menggunakan yang sudah ada. Misalnya, saya sudah koordinasi dengan Bapak Jaksa Agung (Sanitiar Burhanuddin), ada banyak (lahan) yang sitaan bagaimana itu bisa dimanfaatkan," katanya selepas pelantikan di Istana Kenegaraan Jakarta, Senin (21/10).
"Bagaimana dari misalnya menteri BUMN, kereta api (KAI), itu banyak tanah-tanah yang bisa dipakai," tambahnya.
Namun, Ara menegaskan masih harus mempelajari detail-detail di lapangan, termasuk kesiapan anggaran untuk membangun rumah alias permukiman, baik di kota maupun desa.
Ia berharap program pembangunan perumahan rakyat ini bisa segera dilaksanakan sebelum 100 hari pemerintahan Prabowo.
"Ini kan bulan Oktober, November, Desember, saya berharap 100 hari program kerja Pak Presiden Prabowo, kita sudah bisa mulai membangun. Hari ini saya tambah semangat dengan adanya apa yang disampaikan dan dukungan penuh dari Pak Jaksa Agung," kata dia.
Sementara itu, Burhanuddin mengatakan rencana pemanfaatan tanah sitaan ini akan segera dilakukan. Dalam waktu dekat, pihaknya juga akan segera memberikan kejelasan soal berapa luas tanah hasil sitaan yang bisa dimanfaatkan oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman.
"Beliau (Maruarar) mengambil cerita ada tugas yang harus dilakukan oleh beliau untuk pembangunan sekitar 5 juta rumah. Dan ini memang memerlukan suatu support bersama dan ini tugas-tugas kita bersama," ucap Burhanuddin usai pertemuannya dengan Ara di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (22/10).
Jika dilihat secara garis besar, strategi ini bertujuan baik bagi keluarga yang belum memiliki rumah. Namun, apakah ada risiko dibalik wacana tersebut?
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan sebelum melakukan pembangunan perumahan untuk masyarakat, penting bagi pemerintah untuk mengecek lokasi tanah sitaan Kejagung ataupun tanah 'nganggur' milik BUMN.
Menurutnya, strategi itu sangat mungkin untuk dilakukan asal memang letak tanahnya strategis. Contoh, jika letak tanah terlalu jauh dari tempat bekerja sang pemilik rumah, maka dikhawatirkan pembangunan di lahan 'nganggur' itu akan mubazir.
Nailul melihat salah satu faktor pertimbangan pembelian rumah adalah jarak antara hunian dengan tempat masyarakat bekerja, begitu juga dengan ketersediaan transportasi umum. Jika kedua hal itu tak terpenuhi, pembangunan rumah pun akan sia-sia.
Ia menyarankan pemerintah juga harus memastikan sejumlah hal lain jika sudah mendapatkan lokasi yang strategis, termasuk adanya akses ke transportasi umum.
"Banyak perumahan subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang terbengkalai karena tidak ditempati. Akhirnya menimbulkan risiko gagal bayar," ujar Nailul kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/10).
Di samping itu, ia menilai pemerintah juga perlu memastikan tujuan pembelian rumah bukan untuk investasi atau spekulasi, melainkan masyarakat yang betul-betul membutuhkan tempat tinggal.
"Ini yang rumit karena pembangunan dan penjualan tentu tidak semua dari pemerintah. Pemerintah perlu memastikan agar tidak terjadi penyelewengan program," imbuhnya.
Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita tak menutup kemungkinan strategi tersebut memicu risiko yang tidak diinginkan.
Menurutnya, strategi membangun di atas lahan sitaan negara maupun BUMN tak masalah selama proses pemberian konsesinya atau proses pelepasannya ke dunia usaha dilakukan secara baik sesuai dengan aturan yang ada.
Toh, menurutnya, selama ini tanah 'nganggur' milik BUMN juga diberikan kepada masyarakat dalam program sertifikat gratis era Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
"Logikanya kan sederhana, ketimbang lahan tersebut tak produktif dan nganggur, tentu akan lebih baik jika diupayakan menjadi produktif, salah satunya untuk perumahan rakyat yang affordable, bersubsidi, dan bisa diakses dengan lebih mudah oleh kelompok masyarakat yang belum memiliki rumah," ucapnya.
Ronny mengungkap sejumlah persiapan yang perlu dilakukan pemerintah agar strategi dengan niat baik ini bisa benar-benar bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan.
Pertama, pendataan lahan yang yang telah disita dan telah menjadi milik negara atau BUMN harus jelas. Jangan sampai karena ambisi merealisasikan program perumahan ini, lantas lahan adat, lahan masyarakat, dan lahan milik perusahaan diklaim bersengketa dan diklaim milik negara.
"Jadi datanya harus jelas dan pasti, dengan sokongan legalitas yang jelas," tutur Ronny.
Kedua, penggunaannya harus dipastikan, yakni untuk penyediaan perumahan dengan harga terjangkau di satu sisi dan didukung dengan layanan pembiayaan yang juga aksesibel di sisi lain.
[Gambas:Photo CNN]
Artinya, pemerintah perlu memastikan jangan sampai lahan tersebut lepas ke tangan pengusaha yang justru di kemudian hari membangun perumahan mewah untuk kelas atas, membangun mal, atau kawasan bisnis milik perusahaan di sana.
"Jika itu terjadi, tentu sudah melenceng dari tujuan dibuatnya Kementerian Perumahan Rakyat," tegas dia.
Ia menegaskan pemerintah harus membuat seluruh proses dari pembangunan rumah di lahan-lahan ini transparan agar bisa terpantau oleh semua pihak yang berkepentingan dengan perumahan rakyat. Hal ini, kata dia, guna mendapatkan umpan balik dari publik jika ada lahan yang tak jelas dan dipakai untuk tujuan lain.
Di samping itu, Ronny melihat pemerintah harus melibatkan pengusaha yang memang telah memiliki reputasi publik dan telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Jika perlu, dijalankan oleh BUMN perumahan dengan dukungan perbankan BUMN juga. Sehingga jika mereka macam-macam, maka mereka sedang mempertaruhkan harga saham mereka di bursa," tutur Ronny.