Jakarta -
Permukiman padat penduduk menjadi momok di kota Jakarta. Masih ada kawasan berisi rumah tidak layak huni yang dipadati penghuni, sehingga menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga menuturkan fenomena ini menciptakan lingkungan hidup yang tidak sehat bagi penghuninya. Mengingat, permukiman seperti ini diisi rumah berukuran kecil, berdekatan dengan tetangga, serta dihuni oleh banyak orang.
"Permukiman padat tentu tidak layak huni karena rumah tidak sehat, tidak cukup akses air bersih, sanitasi tidak ada atau terbatas, sirkulasi udara dan cahaya matahari tidak memadai atau sumpek, warga mudah stres," kata Yoga kepada detikProperti dalam keterangan tertulis, Rabu (13/11/2024).
Ia juga mengungkapkan fenomena serupa sudah menjalar ke kota sekitar Jakarta, yakni Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kota besar lainnya juga mengalami hal serupa di Bandung dan Surabaya.
Adapun solusi yang ia usulkan adalah pemerintah perlu merevitalisasi permukiman menjadi rumah susun yang sesuai standar. Warga dapat dipindahkan sementara ke rusunawa terdekat dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah Daerah Jakarta.
"Permukiman diubah menjadi rusunawa (atau) rusunami, sehingga kawasan menjadi lega, ada jalur dan tempat evakuasi bencana, jaringan utilitas terpadu, lingkungan lebih sehat dan bebas kebakaran," ucapnya.
Terpisah, Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan hal senada, bahwa fenomena ini sudah menyebar ke kota satelit Jakarta. Masyarakat yang mencari penghidupan lebih baik di Jakarta sudah bergeser tinggal di kawasan sekitar.
Menurutnya, kondisi ini berawal dari kebijakan pembangunan di masa Orde Baru yang berpusat di Pulau Jawa, khususnya kota Jakarta. Penduduk dari daerah lain melihat Jakarta sebagai pusat kehidupan utama, khususnya untuk mencari pekerjaan, pendidikan dan pemukiman.
"Hal ini mulai menyebar ke kota sekitar Jakarta. Justru urbanisasi sudah bergeser ke Bekasi, Depok, Bogor. Ini harus jadi pelajaran serius pemerintah biar nggak mengulangi desain kota masa Orde Baru," ujar Devie kepada detikProperti, Selasa (13/11/2024).
Akibatnya, sebagian masyarakat terpaksa tinggal di situ hidup dalam kondisi tidak layak. Misalnya tidak mendapat pasokan air bersih yang memadai dan sistem sanitasi air yang sesuai standar di rumah.
"Kita bisa lihat banyak orang tidak memiliki penghidupan yang layak, (seperti kurang ketersediaan) air (bersih), kebutuhan mendasar, sanitasi, tidak bisa masuk ke sektor formal, bahkan (terkendala mendapat bantuan) COVID-19 bukan KTP Jakarta," katanya.
Untuk itu, ia menilai solusinya adalah pemerintah daerah harus bisa membangun daerah masing-masing. Pemerintah mengembangkan lapangan pekerjaan serta permukiman terjangkau dan strategis. Dengan begitu, masyarakat tidak merasa perlu pindah ke Jakarta.
"Solusi untuk mengurai persoalan ini ialah dengan memastikan para pemerintah daerah serius membangun daerahnya masing-masing, tidak ada kebocoran anggaran, yang berakibat pada tertutupnya potensi ekonomi daerah, sehingga warga terpaksa harus meninggalkan sanak saudara di kota asal, untuk mengadu peruntungan di Jakarta," tuturnya.
Sebelumnya, Nenek Hasna (62), warga yang tinggal di permukiman padat di Kecamatan Johar Baru viral. Ia tinggal di rumah sempit berukuran 2x3 meter bersama 12 anggota keluarganya.
Nenek Hasna terpaksa hidup berhimpitan dengan anggota keluarganya. Selain itu, ia tidak mempunyai kamar mandi yang layak, bahkan tidak ada WC di rumahnya.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(dhw/das)