Jumlah tunawisma melonjak di Amerika Serikat (AS) karena kurangnya akses ke perumahan terjangkau. Ribuan warga Amerika tak punya tempat tinggal, sehingga menjadi gelandangan di tempat penampungan di New York hingga di jalanan Los Angeles.
Dilansir dari Newsweek, Departemen Perumahan dan Pembangunan Perkotaan (HUD) mencatatkan rekor 771.480 orang menjadi tunawisma dalam satu malam menurut sebuah penilaian tahunan. Angka tersebut menunjukkan sekitar 23 orang merupakan tunawisma setiap 10.000 orang di AS.
Orang yang mengalami tunawisma mencakup orang-orang yang tinggal di tempat penampungan, program perumahan, dan lokasi yang tidak tidak terlindungi. Namun, jumlah tunawisma sebenarnya lebih besar karena HUD tidak memperhitungkan beberapa situasi seperti mereka yang tinggal bersama teman atau keluarga karena tak punya rumah sendiri.
Menurut laporan HUD, jumlah tunawisma meningkat 18,1 persen pada tahun 2024 dibandingkan tahun 2023. Sebagai referensi, jumlah orang yang tak punya rumah meningkat 19,2 persen dari tahun 2007 hingga 2024.
Jumlah orang yang mengalami pola tunawisma kronis, yang didefinisikan HUD sebagai orang penyandang disabilitas yang telah menjadi tunawisma selama setidaknya 12 bulan, juga meningkat 6,6 persen dari tahun 2023 ke tahun 2024.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti krisis perumahan terjangkau di tingkat nasional, meningkatnya inflasi, dan upah yang stagnan di kalangan menengah dan ke bawah. Lalu, dampak berkepanjangan dari rasisme sistemik juga berperan dalam peningkatan jumlah tunawisma.
Selain itu, departemen tersebut menyebutkan krisis kesehatan masyarakat, bencana alam, peningkatan jumlah imigran AS, dan berakhirnya program pencegahan tunawisma era COVID-19 turut memperparah kondisi ini.
CEO sementara Koalisi Perumahan Pendapatan Rendah Nasional Renee Willis mengatakan meningkatnya jumlah tunawisma adalah konsekuensi tragis, namun dapat diprediksi, akibat kurangnya investasi dalam sumber daya dan perlindungan yang membantu orang menemukan dan memelihara perumahan yang aman dan terjangkau.
"Seperti yang sudah diperingatkan oleh para advokat, peneliti, dan orang-orang yang memiliki pengalaman hidup seperti itu, jumlah orang yang mengalami tunawisma terus meningkat karena semakin banyak orang yang berjuang untuk membayar biaya perumahan yang sangat tinggi," kata Willis dalam sebuah pernyataan dikutip dari Newsweek, Minggu (29/12/2024).
Sementara itu, CEO Aliansi Nasional untuk Mengakhiri Tunawisma Ann Oliva mengatakan perlu ada solusi untuk menyelesaikan krisis tunawisma di AS.
"Peningkatan jumlah tunawisma yang memecahkan rekor ini seharusnya menjadi peringatan bagi para pembuat undang-undang federal, negara bagian, dan lokal untuk membuat solusi maju dan berbasis bukti untuk krisis ini," tuturnya.
Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah menyebut Menteri Keuangan Sri Mulyani tengah mengkaji banyak insentif atau bantuan hingga opsi rumah untuk gelandangan.
Ia mengatakan skema bantuan rumah untuk gelandangan ini tengah dibahas bersama Kementerian Keuangan.
"Lagi banyak kajian-kajian lain tentang insentif, tapi kita nunggu, karena jenderalnya namanya Ibu Sri Mulyani," tegas Fahri di Menara BTN, Jakarta Pusat, Jumat (29/12).
Kata Fahri, selama ini ada tiga lapisan masyarakat yakni kelas atas (upper class), kelas menengah (middle class) dan kelas bawah (lower class). Presiden Prabowo memberi perhatian serius ke kelas bawah yang banyak tidak tertangani dengan baik.
"Ada perhatian serius dari Bapak Presiden untuk menyisir yang paling bawah karena sepertinya ini yang tidak tertangani dengan baik. Orang-orang yang tidak terdata, orang-orang yang tidak unrecognized, unrecorded, dan seterusnya itu, ini yang kita perlu sisir, karena ini yang tumpah ruah di ruang-ruang kota menjadi slum (kumuh).
Ia menegaskan negara perlu memperhatikan rakyat di kelompok bawah ini. Pasalnya, warga Indonesia yang tidak punya tempat tinggal sudah tumpah ruah di ruang-ruang kota.
"(Mereka) tinggal di bawah kolong jembatan, tinggal di rumah-rumah gerobak, dan sebagainya ini kita sisir. Sebab yang middle (class) dan upper (class) itu mekanismenya sudah ada," tambah Fahri.
Di lain sisi, ia menekankan urgensi memberantas spekulan tanah. Fahri menuturkan pemerintah harus bisa menghadirkan rumah-rumah murah.
Tugas pemerintah, imbuh Fahri, memastikan tanah atau rumah bisa dijangkau masyarakat. Walau, ia menekankan penurunan harga rumah bakal tergantung mekanisme pasar.
"Karena begitu kita bisa menyiapkan lahan yang lebih murah, perizinan yang lebih singkat, lebih simple, itu pasti harga (rumah) turun," klaim Fahri.
"Tugas negara itu adalah menyiapkan diri supaya mekanisme berjalan dengan baik. Tidak ada monopoli, tidak ada oligopoli, tidak ada faktor-faktor yang mempersulit orang punya rumah," tandasnya.