
Potensi Ekonomi Perumahan Rendah Emisi
Saat banjir dan polusi makin parah, solusi hijau seperti Perumahan Rendah Emisi masih berjalan lamban. Jika dioptimalkan, bisa jadi motor pertumbuhan ekonomi. [1,123] url asal
#kolom #ekonomi-hijau #investasi-hijau
(detikFinance) 30/04/25 16:30
v/48889/

Perubahan iklim telah menjadi ancaman yang semakin nyata bagi kehidupan manusia di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Banjir, kekeringan, serta polusi udara yang mengkhawatirkan adalah contoh dampak yang semakin terasa di berbagai kota. Menghadapi tantangan besar ini, kita perlu beradaptasi dan mencari solusi yang tidak hanya mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Salah satu solusi yang semakin mendapat perhatian adalah Perumahan Rendah Emisi (PRE). Selain berperan dalam pengurangan emisi karbon, sektor ini menawarkan potensi besar untuk menciptakan lapangan pekerjaan, menarik investasi hijau, dan mendorong inovasi teknologi di Indonesia. Namun, meskipun prospeknya sangat menjanjikan, perjalanan untuk mewujudkan sektor ini sebagai mesin ekonomi masih dipenuhi dengan tantangan yang harus diatasi.
PRE tidak hanya berfungsi sebagai jawaban atas perubahan iklim. Lebih dari itu, PRE juga dapat menjadi mesin dan/atau pendorong pertumbuhan ekonomi dalam berbagai sektor. Tiga pilar utama yang dapat mengoptimalkan kontribusi sektor ini adalah menciptakan lapangan pekerjaan, menarik investasi hijau, dan mendorong inovasi teknologi.
Menciptakan Lapangan Pekerjaan
Pembangunan PRE membuka banyak peluang lapangan pekerjaan, baik di sektor konstruksi maupun di sektor pendukung. Diperlukan tenaga kerja terampil seperti ahli energi terbarukan, arsitek yang fokus pada desain ramah lingkungan, serta insinyur yang merancang dan memasang sistem efisiensi energi. Permintaan untuk bahan bangunan ramah lingkungan, seperti material daur ulang dan beton ramah lingkungan, juga akan menciptakan banyak lapangan kerja baru.
Selain itu, sektor terkait seperti transportasi berkelanjutan turut berkembang. Dengan semakin banyaknya permintaan terhadap kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian daya, peluang kerja di sektor ini akan meningkat signifikan. Teknologi pengelolaan air hujan dan limbah yang efisien juga menjadi kebutuhan dan memperluas pasar tenaga kerja teknologi ramah lingkungan.
Sebagai gambaran, dampak penciptaan lapangan pekerjaan dapat dilihat pada proyek Green Building di Singapura, yang telah berhasil menciptakan banyak sekali pekerjaan baru dalam bidang konstruksi, energi terbarukan, dan pengelolaan air. Proyek ini mengintegrasikan konsep ramah lingkungan pada bangunan komersial dan residensial dan berkontribusi signifikan pada pengurangan emisi, dan sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.
Menarik Investasi Hijau
Selain membuka lapangan pekerjaan, pembangunan PRE berpotensi besar untuk menarik investasi domestik dan internasional. Seiring tren global yang semakin fokus pada keberlanjutan, banyak investor yang tertarik pada proyek yang mendukung pengurangan emisi karbon.
Indonesia, dengan sumber daya melimpah dan pasar besar, berpeluang menjadi magnet bagi investasi hijau. Laporan United Nations Environment Programme (UNEP) menjelaskan bahwa investasi hijau yang meningkat pesat di sektor perumahan dapat membantu Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca.
Di sisi lain, Indonesia juga berpeluang untuk menarik investasi internasional melalui kemudahan insentif fiskal dan kebijakan ramah investasi yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Sementara, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah meluncurkan berbagai program untuk mempercepat pembangunan hunian ramah lingkungan yang berkelanjutan. Pengembangan kawasan perumahan dengan fasilitas energi terbarukan menarik minat investor hijau global.
Mendorong Inovasi Teknologi
Pembangunan PRE mendorong inovasi teknologi, baik di sektor konstruksi, energi, maupun transportasi. Misalnya, di sektor konstruksi, penggunaan bahan bangunan efisien seperti kaca cerdas, beton ramah lingkungan, dan material daur ulang semakin berkembang. Teknologi pemanas dan pendingin berbasis energi terbarukan, serta desain bangunan yang memanfaatkan pencahayaan alami, juga semakin diminati untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Selain itu, teknologi energi terbarukan seperti panel surya, pembangkit listrik tenaga angin, dan solusi penyimpanan energi berkembang pesat untuk mendukung pembangunan rumah ramah lingkungan. Integrasi sumber energi terbarukan di PRE juga berpotensi mempercepat transisi Indonesia menuju energi bersih.
Kita bisa berguru ke Jerman yang telah memberikan contoh konkret. Jerman berhasil mengembangkan sektor perumahan hijau dengan teknologi tinggi. Jerman mengintegrasikan teknologi energi terbarukan, yang membantu negara tersebut mengurangi emisi karbon secara signifikan. Inovasi ini tidak hanya mempercepat peralihan ke energi hijau tetapi juga menciptakan banyak sekali pekerjaan baru di sektor energi terbarukan.
Beberapa Kendala
Meskipun sektor PRE menawarkan berbagai manfaat, implementasinya di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa kendala yang signifikan. Salah satu hambatan utama adalah biaya awal pembangunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perumahan konvensional. Penggunaan teknologi hijau, bahan bangunan ramah lingkungan, dan sistem energi terbarukan disinyalir membutuhkan investasi yang lebih besar di awal. Meski pada akhirnya lebih efisien dan berkelanjutan, banyak pengembang yang enggan mengambil risiko ini.
Menurut World Bank, biaya awal yang lebih tinggi menjadi salah satu faktor penghambat terbesar dalam pengembangan proyek perumahan hijau di negara berkembang. Oleh karena itu, insentif fiskal dan pembiayaan hijau menjadi sangat penting dalam upaya mempercepat implementasi PRE.
Selain itu, infrastruktur yang belum memadai menjadi kendala besar. Banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki sistem pengelolaan air yang efisien, transportasi ramah lingkungan, atau integrasi energi terbarukan untuk mendukung PRE. Tanpa adanya infrastruktur yang memadai, pengembang dan konsumen tidak dapat merasakan manfaat penuh dari PRE.
Kendala lainnya adalah ketidakjelasan dalam kebijakan dan regulasi yang ada. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong pembangunan berkelanjutan, pengembang sering menghadapi ketidakpastian dalam peraturan yang berlaku. Ketidakkonsistenan kebijakan dan ketidakjelasan implementasi seringkali membuat pengembang ragu untuk berinvestasi dalam proyek PRE.
Karena itu, sangat penting agar regulasi yang ada terus disempurnakan, dengan memberikan panduan yang jelas, guna mendukung terciptanya PRE yang berkelanjutan. Kejelasan ini akan membuka peluang lebih besar bagi pengembang untuk berinovasi dan berinvestasi dalam sektor yang ramah lingkungan.
Langkah Strategis
Untuk mengoptimalkan potensi PRE sebagai mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia, sejumlah langkah strategis perlu diambil. Salah satunya adalah dengan memberikan kebijakan fiskal yang mendukung, seperti insentif pajak atau subsidi bagi pengembang yang menggunakan teknologi ramah lingkungan. Ini akan mengurangi beban biaya awal dan mendorong pengembang untuk memilih proyek perumahan hijau.
Pembangunan infrastruktur yang kompatibel dengan PRE juga sangat penting. Pemerintah harus bekerja sama dengan sektor swasta untuk memastikan ketersediaan infrastruktur seperti energi terbarukan, sistem pengelolaan air yang efisien, dan transportasi hijau. Kolaborasi publik-swasta ini akan memastikan terciptanya kawasan perumahan yang ramah lingkungan dan terintegrasi dengan teknologi yang mengurangi jejak karbon.
Pembiayaan hijau juga perlu didorong lebih lanjut. Lembaga keuangan harus lebih aktif menyediakan produk pembiayaan hijau yang mudah diakses oleh pengembang dan konsumen. Produk seperti green bonds atau pinjaman dengan bunga rendah untuk proyek perumahan hijau dapat mempercepat pendanaan dan memungkinkan sektor ini berkembang lebih cepat.
PRE bukan hanya solusi terhadap perubahan iklim, tetapi juga potensi besar bagi ekonomi Indonesia. Dengan menciptakan lapangan kerja, menarik investasi, dan mendorong inovasi teknologi, pembangunan PRE bisa menjadi penggerak utama bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dengan kebijakan yang tepat, sektor ini memiliki kemampuan untuk merangsang pertumbuhan sektor-sektor lainnya, menciptakan peluang baru, dan mendatangkan manfaat jangka panjang.
Ini adalah momentum yang tidak boleh disia-siakan. Dengan strategi yang tepat, Indonesia tidak hanya dapat meraih kemajuan besar dalam pembangunan berkelanjutan, tetapi juga mengukir nama sebagai pelopor dalam transisi hijau global. PRE adalah kunci untuk masa depan yang lebih bersih, efisien, dan sejahtera bagi seluruh bangsa. PRE bukan sekadar mimpi utopis, tapi kesempatan. Tinggal kita mau serius atau tidak. Bola ada di tangan para pengambil kebijakan. Jangan sampai momentum ini berlalu begitu saja.
Wilson ArafatGRC & ESG Specialist

Jangan Langsung Salahkan BGN, Mari Melihat Rantai Risiko Keracunan Makanan
Jangan kita goyahkan pondasinya dengan prasangka, tetapi mari kita jaga dengan pengetahuan, kerja sama, dan komitmen bersama. [549] url asal
#badan-gizi-nasional #makan-bergizi-gratis #bgn #kolom #penyebab-insiden #dapur-penyedia #pelaksanaan-verifikasi-sppg #keputusan-kepala-bgn-nomor-17-1-tahun-2024 #mbg #kesehatan #penempatan #rantai-risiko-kerac
(detikFinance) 25/04/25 10:05
v/47505/

Kemarin kembali muncul kabar anak-anak keracunan makanan di salah satu sekolah yang menjadi penerima manfaat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kejadian tersebut langsung memicu keresahan dan tudingan terhadap dapur penyedia makanan, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), seolah-olah SPPG menjadi satu-satunya sumber masalah.
Padahal, sekolah-sekolah lain yang dilayani oleh SPPG yang sama tidak mengalami keluhan serupa. Ini seharusnya menjadi isyarat bahwa penyebab insiden tersebut mungkin lebih kompleks dari sekadar kesalahan di dapur.
Badan Gizi Nasional (BGN) sejatinya telah menerapkan standar yang sangat ketat dalam pengelolaan dapur MBG. Keputusan Kepala BGN Nomor 17.1 Tahun 2024 menjadi dasar pelaksanaan operasional dapur yang higienis dan aman. Ada pelaksanaan verifikasi SPPG untuk bisa melayani MBG.
Dalam dokumen tersebut, setiap dapur SPPG wajib dirancang dengan alur kerja yang mencegah kontaminasi silang. Penempatan ruang mulai dari penyortiran bahan, ruang masak, hingga ruang pengemasan diatur secara rinci untuk memastikan setiap proses berjalan dalam lingkungan yang terkendali.
Peralatan yang digunakan dapur SPPG juga wajib berbahan food grade. Sementara lokasi dapur harus jauh dari kawasan banjir, tempat pembuangan sampah, dan peternakan hewan. Bahkan, kendaraan distribusi makanan pun diwajibkan tertutup, bersih, dan disanitasi sebelum dan sesudah digunakan.
Fasilitas seperti APAR, insect killer, dan sistem pembuangan limbah juga merupakan kelengkapan wajib dalam dapur SPPG.
Dengan sistem seketat ini, wajar jika kita bertanya: Bagaimana mungkin masih terjadi kasus keracunan makanan? Di sinilah pentingnya pemahaman yang lebih luas tentang rantai distribusi makanan.
Fakta bahwa hanya satu dari sepuluh atau lima belas sekolah yang mengalami masalah, padahal semuanya dilayani oleh dapur SPPG yang sama, menunjukkan adanya kemungkinan besar bahwa kontaminasi terjadi di luar dapur.
Makanan yang diproduksi secara aman di dapur bisa saja mengalami kontaminasi setelah keluar dari sana. Dalam beberapa kasus, makanan mungkin tiba di sekolah setelah menempuh perjalanan panjang dan berada terlalu lama dalam suhu ruang, terutama jika sekolah tersebut berada di titik akhir rute distribusi.
Selain itu, ada kemungkinan bahwa sekolah tidak langsung menyajikan makanan, atau menyimpannya di tempat yang tidak higienis. Lebih jauh lagi, proses pembagian makanan oleh petugas sekolah yang tidak mencuci tangan atau menggunakan alat makan yang kotor juga bisa memicu kontaminasi. Bahkan, bisa jadi makanan MBG yang sejatinya aman dikonsumsi bercampur dengan jajanan luar yang tidak sehat.
Tuduhan sepihak terhadap BGN dan dapur SPPG, tanpa kajian menyeluruh, justru bisa merusak kepercayaan publik terhadap program yang sangat dibutuhkan oleh jutaan anak Indonesia ini.
Keracunan makanan adalah insiden serius yang patut diselidiki secara tuntas. Namun, tuduhan harus didasarkan pada bukti, bukan pada asumsi.
BGN telah menyediakan sistem pengawasan, verifikasi, dan standar operasional yang komprehensif. Hal yang dibutuhkan sekarang adalah keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan, termasuk pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk menjaga keamanan makanan sepanjang rantai distribusi hingga sampai ke tangan anak-anak.
Program Makan Bergizi Gratis adalah terobosan besar dalam perjuangan memberantas kelaparan dan malnutrisi. Program ini menyasar langsung kepada anak Indonesia untuk menjadi sumber daya manusia Indonesia berkualitas. Ia adalah harapan besar bagi masa depan Indonesia.
Jangan kita goyahkan pondasinya dengan prasangka, tetapi mari kita jaga dengan pengetahuan, kerja sama, dan komitmen bersama. Isu lainnya adalah target yang belum 100% tepat sasaran, maka mari kita benahi, sehingga program ini menyasar target yang tepat dengan dana yang efisien.
Ahmad Syafiq.Guru Besar Departemen Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
(rdp/rdp)
Menolak Makan Bergizi Gratis, Mematikan Masa Depan Bangsa
Menyerukan pembatalan program ini sama dengan memutus akses gizi anak-anak miskin, menghentikan pendapatan ribuan pekerja dapur dan melemahkan ekonomi desa. [431] url asal
#makan-bergizi-gratis #kolom #program-mbg #iwan-setiawan #strategi #kritik #hak-anak-anak #pelaksanaan-mbg #penguatan #demokrasi #kebaikan #inisiatif-global-school-meals-coalition #global-school-meals-coalition
(detikFinance) 20/04/25 14:00
v/45959/

Dalam dinamika demokrasi, kritik terhadap kebijakan publik adalah sesuatu yang sehat dan perlu. Namun, ketika kritik berubah menjadi kampanye pembatalan terhadap program strategis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) seperti yang disampaikan majalah TEMPO minggu ini, maka yang dirugikan bukanlah pemerintah, melainkan anak-anak dari keluarga rentan yang bergantung pada dukungan negara untuk bertahan hidup dan berkembang.
MBG bukan program biasa. Ini adalah intervensi terarah untuk mengatasi tiga persoalan mendasar bangsa: Gizi buruk, kemiskinan struktural, dan minimnya lapangan kerja lokal.
April ini sudah 3 juta anak Indonesia telah mendapat manfaat dari MBG. Dapur komunitas tumbuh di ribuan titik membuka ribuan lapangan pekerjaan baru, dan petani lokal mulai merasakan peningkatan permintaan dari rantai pasok pangan yang terbangun.
Mereka yang hari ini menyerukan agar program ini dibatalkan, barangkali lupa bahwa setiap piring makan yang disediakan bukanlah sekadar bantuan Pemerintah - tetapi investasi masa depan bangsa.
Menyerukan pembatalan program ini sama dengan memutus akses gizi anak-anak miskin, menghentikan pendapatan ribuan pekerja dapur, dan melemahkan ekonomi desa.
Dunia Justru Bergerak Mendukung MBG
Kita perlu melihat ke panggung dunia. Sejak 2021, inisiatif global School Meals Coalition telah mengajak seluruh negara untuk memastikan setiap anak di dunia mendapat satu kali makan sehat di sekolah pada tahun 2030.
Koalisi ini dipimpin oleh negara-negara dengan pengalaman panjang dan keberhasilan dalam program serupa - Prancis, Finlandia, dan Brasil. Indonesia sendiri baru bergabung pada 2025 dan mendapat sambutan positif.
Menolak MBG sama saja dengan menolak membaca fakta dan menutup mata terhadap arah kebijakan global. Sementara dunia bergerak maju menjadikan makan bergizi gratis sebagai hak dasar setiap anak, mengapa sebagian dari kita seperti justru mundur dan mengampanyekan pembatalan?
Yang Dibutuhkan: Perbaiki, Bukan Batalkan
Benar, pelaksanaan MBG belum sempurna. Namun bukan berarti MBG harus dihentikan. Seperti program BPJS, BOS, dan sekolah gratis yang dulu juga ramai kritik, MBG perlu perbaikan bertahap dan penguatan tata kelola, bukan pembatalan.
Langkah-langkah perbaikan bisa dan sedang dilakukan dengan perbaikan kualitas dan pengawasan makanan, digitalisasi sistem pembayaran untuk mitra, dan penguatan kolaborasi antar daerah dan pusat.
Saat bangsa lain berlomba-lomba memastikan anak-anak mereka tidak belajar dalam keadaan lapar, majalah TEMPO justru membangun narasi agar program MBG dihentikan. Ini bukan sekadar kekeliruan strategi - ini adalah kelalaian moral.
Menolak MBG berarti menolak masa depan anak-anak Indonesia. Mari kita waras: Kebaikan yang belum sempurna bukan untuk dihentikan, tapi untuk disempurnakan.
Sejarah akan mencatat - di tengah berbagai perdebatan, apakah kita berdiri di sisi yang membela hak anak-anak untuk makan, atau justru menjadi bagian dari suara yang mengosongkan piring-piring mereka.
Iwan Setiawan, Direktur Indonesia Political Review (IPR).
(idn/idn)
Prioritas Mendesak: Eksistensi Regulasi Pelaksanaan MBG
Berdasarkan Laporan World Food Programme (WFP) 2024, setidaknya 23 juta orang di Indonesia tidak mampu memenuhi asupan gizi seimbang setiap harinya. [1,050] url asal
#makan-bergizi-gratis #kolom #undang-undang-nomor-30-tahun-2014-tentang-administrasi-pemerintahan #sehat #india #hamil #eksistensi-regulasi-pelaksanaan-mbg #sasaran-uji-coba-program-mbg #fakultas-kedokteran
(detikFinance) 13/02/25 07:19
v/28971/

Berdasarkan Laporan World Food Programme (WFP) 2024, setidaknya 23 juta orang di Indonesia tidak mampu memenuhi asupan gizi seimbang setiap harinya. Pertanyaannya, mampukah program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah dijanjikan dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC)/Quick Wins Pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi solusi yang efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi krisis gizi tersebut?
Menurut Prof. Yodi Mahendradhata, Guru Besar Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, program MBG hanyalah jawaban populis atas masalah stunting yang lebih kompleks. Manfaat dan urgensi program ini pun layak dipertanyakan. Di lain sisi, Prof. Tjandra Yoga Aditama dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memandang program MBG sebagai a multisectoral game changer yang tidak hanya untuk meningkatkan gizi anak dan mendukung kesehatan anak, tetapi juga menciptakan rantai pasokan pangan yang lebih stabil dan berkelanjutan, menciptakan lapangan kerja, hingga mengurangi beban ekonomi rumah tangga.
Terlepas dari segala perdebatan yang ada, pemerintah tetap terlihat optimis menjalankan program MBG. Pada 6 Januari 2025, program ini secara resmi diluncurkan di 31 provinsi. Melalui 238 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di bawah naungan Badan Gizi Nasional (BGN) secara langsung, program MBG diklaim telah menjangkau 650 ribu penerima manfaat, mencakup siswa, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.
Sebelum resmi dilaksanakan, pada 16 Desember 2024, penulis berkesempatan untuk berdiskusi dengan beberapa kepala sekolah di wilayah Jabodetabek yang menjadi sasaran uji coba program MBG. Mayoritas melaporkan adanya manfaat nyata dari MBG, meskipun di awal pelaksanaannya terdapat tantangan dalam distribusi dan operasional. Paranggi Rismoko, Kepala Sekolah Dasar Negeri Pulogebang 06 di Jakarta Timur, merupakan salah satu yang menilai MBG berhasil membantu menyediakan makanan sehat bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Namun, ketidaksesuaian jadwal distribusi makanan dengan waktu belajar mengakibatkan kondisi makanan tidak prima saat diterima siswa.
Permasalahan ini berakar pada ketiadaan regulasi yang secara khusus mengatur pelaksanaan MBG. Saat ini, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang BGN hanya mengatur kerangka kelembagaan tanpa menetapkan peraturan terkait pelaksanaan MBG itu sendiri. Kejelasan regulasi sangat penting untuk menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan program pemerintah. Ketiadaan regulasi ini memperparah 3 (tiga) persoalan utama: (i) koordinasi dan kewenangan kementerian atau lembaga (K/L) terkait, (ii) standardisasi tata kelola distribusi dan pengadaan, serta (iii) pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang terkualifikasi.
Kurangnya Koordinasi dan Kewenangan Institusional
Kekosongan hukum pada program MBG yang bersifat lintas K/L dapat menimbulkan ketidaktegasan dalam distribution of power and authority. Hal ini mengingat implementasi program MBG mencakup berbagai aspek, meliputi pendanaan, logistik, kebutuhan gizi/kesehatan, lingkungan pendidikan, pengawasan, hingga evaluasi program. Pada akhirnya, kebijakan yang dikeluarkan K/L dapat saling bertabrakan atau tidak tepat sasaran dan lambat dalam pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab atas pemilihan sekolah dan kesiapan institusional dalam MBG. Namun, tanpa koordinasi yang jelas dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang mengelola integrasi anggaran, terdapat potensi ketidaksesuaian antara kebutuhan sekolah dengan alokasi dana yang tersedia. Akibatnya, sekolah yang seharusnya diprioritaskan tidak mendapatkan dukungan optimal, sementara sekolah lain yang kurang membutuhkan justru menerima alokasi yang lebih dari apa yang seharusnya.
Standardisasi Tata Kelola dan Pengadaan
Keberadaan regulasi dalam aspek tata kelola distribusi serta pengadaan barang dan jasa pada program MBG juga sangat krusial. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan prinsip good governance yang mengharuskan setiap penyelenggaraan pemerintahan harus berbasis pada standar yang jelas dan terukur.
Tanpa regulasi yang tegas, distribusi serta pengadaan barang dan jasa dalam program MBG berisiko mengalami berbagai masalah inefisiensi hingga potensi penyimpangan. Meskipun terdapat Pedoman Umum Sistem dan Tata Kelola Program MBG yang disusun oleh BGN, tidak ada konsekuensi hukum yang tegas bagi mitra jika dalam praktiknya ditemukan makanan yang tidak memenuhi standar gizi atau berisiko menimbulkan masalah kesehatan akibat kontaminasi atau bahan yang tidak layak konsumsi.
Tidak hanya itu, tidak diaturnya mekanisme tender mitra yang transparan dan objektif juga dapat meningkatkan potensi praktik monopoli atau oligopoli jika pengadaan makanan terpusat pada beberapa penyedia besar sebagaimana hal ini telah dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kondisi tersebut akan mengarah pada harga yang tidak kompetitif dan kualitas yang tidak optimal hingga membuka ruang bagi praktik korupsi dan kolusi. Pada akhirnya, anggaran yang telah dialokasikan menjadi tidak efisien akibat rawan penyalahgunaan wewenang seperti praktik penggelembungan harga hingga penurunan kualitas.
Kapasitas SDM Terkualifikasi
Badan Gizi Nasional juga menghadapi tantangan dalam kapasitas SDM akibat ketidaksiapan birokrasi. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mewajibkan setiap pengguna anggaran negara untuk menerapkan sistem pengendalian internal, termasuk audit, review, evaluasi, serta pemantauan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah. Namun, sebagai lembaga yang baru dibentuk pada 15 Agustus 2024, BGN tentu belum memiliki SDM yang memadai untuk menjalankan tugas-tugas ini.
Di tengah keterbatasan, BGN justru dipercaya mengelola anggaran MBG sebesar Rp71 triliun, yang berpotensi meningkat hingga ratusan triliun rupiah pada tahun anggaran selanjutnya. Dengan jumlah SDM yang secara ideal belum memadai, pengelolaan anggaran sebesar itu tampaknya akan sulit untuk terhindar dari risiko inefisiensi dan kegagalan pencapaian target program MBG. Oleh karena itu, kebutuhan akan percepatan rekrutmen SDM harus dikawal dengan regulasi yang menjamin proses seleksi berbasis meritokrasi guna mencegah potensi malpraktik.
Urgensi Reformasi Regulasi
Untuk mengatasi tiga persoalan di atas, setidaknya dibutuhkan regulasi setingkat peraturan presiden untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Tanpanya, SPPG selaku unit pelaksana MBG dapat menghadapi hambatan besar dalam implementasi, dan risiko korupsi dalam eksekusi program sudah barang tentu menjadi kian tinggi. Jika dibiarkan, kondisi demikian akan memperbesar ketidakpercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam penyediaan layanan dasar, terutama untuk program unggulan yang telah mendapat atensi publik yang cukup tinggi.
Program MBG sejatinya bukanlah hal baru. Jepang dan India telah lebih dulu membuktikan efektivitas program serupa dengan dukungan kerangka hukum yang kuat. Jepang memiliki School Lunch Act 1954 yang mengatur standar gizi secara ketat, sementara India menerapkan National Food Security Act 2013 yang mencakup mekanisme pengaduan bagi penerima manfaat. Tak heran, program mereka telah menciptakan legacy konkret yang dirasakan lintas generasi.
Indonesia, yang kini mulai menerapkan program MBG, perlu mempertimbangkan aspek regulasi ini dengan bijak. Jika ingin mencapai keberhasilan serupa, regulasi yang kuat dan berkelanjutan harus menjadi prioritas, agar program ini benar-benar menjadi solusi jangka panjang bagi masalah krisis gizi di Indonesia.
Penulis adalah Tenaga Profesional Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kantor Staf Presiden Republik Indonesia. Opini ini tidak mewakili institusi tempatnya bekerja
(azh/azh)