
Kontroversi Maruarar Sirait Picu Kegaduhan Ekosistem Perumahan
Ketidakjelasan peta jalan Program 3 Juta Rumah hingga April 2025 ini juga memperburuk situasi, dengan asosiasi pengembang menyatakan ketidakpastian. Halaman all [1,067] url asal
#maruarar-sirait #kontroversi #ekosistem-perumahan #menteri-pkp #bikin-gaduh
(Kompas.com) 15/04/25 14:00
v/44505/

KOMPAS.com -Maruarar Sirait, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) dalam Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, menjadi sorotan publik akibat sejumlah pernyataan dan kebijakan yang memicu kegaduhan di sektor perumahan.
Kontroversi ini terutama berkisar pada tudingan terhadap pengembang perumahan yang dianggap nakal, wacana rumah gratis, penurunan harga rumah, dan yang terbaru batasan maksimal penghasilan penerima rumah subsidi yang dinilai mengganggu ekosistem perumahan.
Kritik dari asosiasi pengembang seperti Real Estate Indonesia (REI) dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mencerminkan ketegangan antara pemerintah dan pelaku industri.
Sejak dilantik pada Oktober 2024, Maruarar Sirait, akrab disapa Ara, menargetkan percepatan realisasi Program 3 Juta Rumah yang menjadi salah satu janji kampanye Presiden Prabowo.
Skeptisisme muncul terkait ketersediaan lahan, anggaran, infrastruktur pendukung, serta sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan pengembang.
Sejumlah pengamat menilai target ini terlalu tinggi dan berpotensi menimbulkan tekanan pada kualitas pembangunan dan penyerapan anggaran.
Terlebih, sejumlah pernyataan dan langkahnya memicu polemik. Salah satu isu utama adalah tudingan terhadap pengembang perumahan, khususnya rumah subsidi, disebut "nakal" karena dianggap tidak bertanggung jawab atas kualitas pembangunan.
Selain itu, wacana rumah gratis dan rencana penurunan harga rumah subsidi memicu keresahan di kalangan pengembang, yang merasa kebijakan ini mengancam keberlanjutan bisnis mereka.
Kontroversi lain muncul terkait keterlibatan investor asing dalam pembangunan perumahan, terutama setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dengan investor Qatar untuk pembangunan 1 juta unit rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Meskipun investasi asing dapat menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan pendanaan, beberapa pihak mengkhawatirkan dampaknya terhadap kedaulatan negara dalam sektor strategis seperti perumahan, serta potensi dominasi asing dan kurangnya keberpihakan pada pengembang lokal.
Ketidakjelasan peta jalan Program 3 Juta Rumah hingga April 2025 ini juga memperburuk situasi, dengan asosiasi pengembang menyatakan ketidakpastian yang menghambat perencanaan mereka.
Penetapan batas maksimal gaji untuk penerima rumah subsidi juga menjadi perdebatan. Meskipun penyesuaian batas penghasilan hingga Rp 12 juta-14 juta di wilayah Jabodetabek dianggap langkah positif untuk memperluas jangkauan program, sebagian kalangan menilai batas ini masih terlalu tinggi.
Hal ini karena berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di atas batas yang juga kesulitan memiliki rumah.
Kontroversi ini mencapai puncaknya ketika lima asosiasi pengembang yakni REI, Apersi, Appernas Jaya, Himperra, dan Asprumnas, menggelar konferensi pers bersama pada 18 Februari 2025 di Jakarta.
Mereka menyatakan kekecewaan terhadap gaya kepemimpinan Maruarar yang dinilai kontraproduktif dan merusak ekosistem perumahan yang telah terbangun selama puluhan tahun.
Selain itu, gaya komunikasi dan pernyataan Menteri Ara yang cenderung optimistis dan penuh semangat terkadang dianggap kurang realistis oleh sebagian pelaku industri dan pengamat.
Pernyataan-pernyataan yang bombastis tanpa diikuti dengan detail implementasi yang jelas dapat menimbulkan ekspektasi yang berlebihan dan berujung pada kekecewaan jika target tidak tercapai.
Potensi konflik kepentingan juga menjadi sorotan, mengingat latar belakang politik Maruarar Sirait sebagai politisi senior dan kedekatannya dengan lingkaran kekuasaan.
Meskipun tidak ada indikasi pelanggaran yang jelas, pengawasan dan transparansi dalam setiap kebijakan dan penunjukan di sektor perumahan menjadi krusial untuk menjaga kepercayaan publik.
Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto menjadi salah satu tokoh yang vokal mengkritik Ara.
Kepada Kompas.com, Senin (14/4/2025), Joko menyatakan bahwa tudingan "pengembang nakal" dari Kementerian PKP membuat pengembang merasa tersudut dan tidak mendapat perlindungan dari pemerintah.
Menurutnya, Kementerian PKP tidak pernah mengomunikasikan isu ini dengan asosiasi sebelum menyampaikannya ke publik, sehingga menciptakan stigma negatif terhadap pengembang.
"Kami mendapat stigma, berada di kondisi bahwa pengembang harus salah," ujar Joko.
Ia menegaskan, pengembang perumahan telah berkontribusi besar dengan menyediakan hunian bagi masyarakat, menciptakan lapangan kerja, dan membayar pajak.
Namun, tanpa bimbingan yang memadai dari pemerintah, pengembang merasa dibiarkan berjuang sendiri.
Joko juga mengkritik fokus Ara pada isu-isu seperti audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ketimbang mempercepat Program 3 Juta Rumah.
"Setelah tiga bulan mendukung euforia Kementerian PKP, kami justru mendapat kondisi yang membingungkan dan sangat kontraproduktif," tambahnya.
Joko menyoroti kebijakan seperti wacana rumah gratis, keterlibatan investor asing, dan penurunan harga rumah telah mengguncang industri.
Ia menyebut bahwa pengembang, khususnya yang bergerak di segmen rumah subsidi, mayoritas adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang rentan terhadap kebijakan yang tidak ramah.
Meski demikian, Joko mengakui adanya pengembang dengan kinerja buruk, namun ia menekankan perlunya pendekatan yang konstruktif, bukan tudingan sepihak.
Sementara itu, Ketua Umum Apersi Junaidi Abdillah mempertanyakan definisi "nakal" yang digunakan Ara, dengan menyebut bahwa masalah seperti rumah retak atau genangan air adalah isu teknis yang dapat diselesaikan, bukan pelanggaran fatal seperti penipuan konsumen.
"Menurut kami, konotasi nakal adalah melakukan tindak pidana. Misalnya, menipu konsumen," kata Junaidi.
Ia menegaskan bahwa tanggung jawab perumahan tidak hanya ada pada pengembang, tetapi juga melibatkan pemerintah daerah dalam hal perizinan dan pengawasan.
Junaidi juga menyoroti bahwa komunikasi yang buruk dari Kementerian PKP memperburuk situasi.
"Kalau menemukan ada developer nakal, pemerintah bisa melakukan pembinaan dan melibatkan asosiasi. Kalau bandel, mungkin perlu mekanisme sewajarnya," usulnya.
Junaidi juga menyatakan pesimisme terhadap realisasi Program 3 Juta Rumah jika gaya kepemimpinan Ara tidak berubah.
"Banyak hal receh diurusin, tidak visioner. Sektor perumahan memerlukan regulasi yang berpihak kepada masyarakat dan semua ekosistem perumahan," tegasnya.
Meski begitu, Junaidi menegaskan komitmen Apersi untuk mendukung program pemerintah, dengan catatan adanya kejelasan regulasi dan sinergi yang lebih baik.
Tanggapan Ara
Ara sendiri menanggapi kritik dari asosiasi pengembang dengan nada yang relatif terbuka, meski tetap menegaskan komitmennya pada Program 3 Juta Rumah.
Kepada Kompas.com, Ara menegaskan, "Biar publik yang menilai. Saya bekerja untuk negara, dan masyarakat yang hingga saat ini belum punya rumah".
Sebelumnya, dalam audiensi dengan Apersi pada 6 Desember 2024, Ara mengajak pengembang untuk berkolaborasi dan memberikan masukan guna memastikan kebijakan pemerintah berjalan efektif.
"Kami berharap Apersi terus membangun rumah untuk masyarakat guna mendukung Program 3 Juta Rumah," ujarnya, seraya menyatakan kesiapannya menerima saran terkait tantangan di sektor perumahan.
Terkait tudingan "pengembang nakal," Ara tidak secara langsung menarik pernyataannya, tetapi fokus pada upaya memperbaiki ekosistem perumahan.
Ia menekankan pentingnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan mendorong pembangunan perumahan di perkotaan yang terintegrasi dengan transportasi umum sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pada Januari 2025, Ara menyampaikan bahwa peta jalan Program 3 Juta Rumah masih dalam tahap penyusunan, menunjukkan bahwa kementeriannya sedang berupaya merumuskan langkah konkret.
Maruarar juga menanggapi kegaduhan yang ditimbulkan dengan menegaskan bahwa sektor perumahan harus berpihak pada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Dalam acara HUT ke-26 Apersi pada 11 Desember 2024, ia menyatakan bahwa sektor perumahan untuk MBR akan diusulkan sebagai PSN untuk mempermudah akses hunian yang layak.
"Saya dan beberapa menteri diarahkan Presiden Prabowo untuk merumuskan langkah-langkah dari Program 3 Juta Rumah," jelasnya.