JAKARTA, investor.id – Program 3 juta rumah yang jadi andalan Presiden Prabowo Subianto bisa tersendat karena likuiditas mulai bergerak terbatas. Namun demikian, pihak regulator yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan kebijakan yang ada saat ini masih cukup adaptif untuk mendukung program tersebut.
“Dengan kebijakan yang adaptif dan pengawasan yang hati-hati, OJK berupaya menjaga keseimbangan antara peningkatan akses pembiayaan properti dalam rangka program pemerintah 3 juta rumah dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, kepada wartawan, Selasa (24/12/2024).
Dia menuturkan, OJK telah memiliki sejumlah kebijakan di sektor perbankan terkait penyaluran kredit ke sektor properti. Kebijakan yang ada saat ini juga cukup memadai untuk perbankan ikut mengambil peran lebih memuluskan program 3 juta rumah.
Pengaturan dari OJK yang dimaksud, antara lain:
Terdapat pengaturan khusus untuk kredit beragun rumah tinggal dalam SEOJK No.24/SEOJK.03/2021 tentang Perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar bagi Bank Umum (SEOJK ATMR Kredit), yang akan berdampak dalam perhitungan KPMM Bank. Dalam ketentuan tersebut diatur bobot risiko yang granular, dimana semakin kecil LTV (Loan to Value), maka bobot ATMR Kredit akan lebih kecil, sehingga lebih menggambarkan risiko kredit yang dihadapi bank untuk masing-masing debitur.
Sesuai POJK Kualitas Aset, penetapan kualitas Aset Produktif untuk debitur dengan plafon sampai dengan Rp 5 miliar dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga (1 pilar), yang dapat dimanfaatkan bank untuk kredit perumahan. Perlakuan penilaian kualitas aset tersebut bersifat lebih praktis dibandingkan kondisi umum dimana bank menilai dengan 3 pilar (prospek usaha, kinerja debitur, kemampuan membayar).
Pengecualian Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dapat diberikan untuk penyediaan perumahan yang ditujukan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), yang termasuk dalam kategori program pemerintah. Pengecualian ini berlaku apabila pembiayaan perumahan tersebut dijamin oleh lembaga penjaminan atau asuransi yang dimiliki oleh BUMN atau BUMD. Ketentuan mengenai pengecualian ini diatur dalam POJK No.32/POJK.03/2018 yang kemudian diubah dengan POJK No.38/POJK.03/2019.
Pengaturan dalam POJK No. 27 tahun 2022 tentang KPMM untuk Pencabutan POJK Kredit Tanah per 1 Januari 2023. Larangan pemberian kredit untuk pengadaan/pengolahan tanah pada POJK Kredit Tanah tidak sejalan dengan arah kebijakan principle-based yang tidak membatasi kegiatan bank. Dengan dicabutnya POJK dimaksud, maka Bank dapat memberikan kredit untuk pengadaan/pengolahan tanah sepanjang menerapkan manajemen risiko disertai permodalan yang memadai termasuk menghindari tujuan spekulasi.
“Langkah-langkah kebijakan dimaksud diharapkan dapat membantu Bank turut mendukung program 3 juta rumah tersebut,” kata Dian.
Selain itu, dalam sektor pasar modal, industri perbankan berperan dalam penerbitan produk pengelolaan investasi yang terkait pembiayaan perumahan. Produk yang dimaksud yakni Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP), yaitu surat berharga yang terdiri dari sekumpulan KPR yang diterbitkan melalui proses sekuritisasi.
EBA-SP menjadi instrumen investasi pendapatan tetap yang dapat ditransaksikan di pasar sekunder. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 29 November 2024, terdapat 9 EBA-SP yang diperdagangkan dengan total nilai sebesar Rp 2,21 triliun.
Kondisi Likuiditas Bank
Sementara itu, likuiditas bank bergerak ke arah pengetatan. OJK melaporkan bahwa loan to deposit ratio (LDR) berada di posisi 87,50% pada Oktober 2024. Angka itu lebih tinggi dari posisi Oktober 2023 sebesar 84,19% maupun dibandingkan bulan September 2024 yang sebesar 86,91%.
LDR merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan antara jumlah kredit yang disalurkan bank dengan dana yang dihimpun bank. Melihat tren yang ada, kondisi tersebut menandakan ruang yang semakin sempit untuk bank melakukan ekspansi kredit di masa depan.
Peningkatan LDR sejalan dengan perkembangan kinerja kredit dan dana pihak ketiga (DPK) dari perbankan. Pada Oktober 2024 misalnya, kredit tumbuh tinggi sebesar 10,92% year on year (yoy), sedangkan DPK hanya mampu tumbuh 6,74% (yoy).
Likuiditas yang kian mengetat juga ditandai rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) yang turun secara tahunan dari posisi 117,29% menjadi 113,64%. Meskipun memang angka itu masih lebih tinggi dari threshold sebesar 50%.
Editor: Prisma Ardianto (ardiantoprisma@gmail.com)
Follow Channel Telegram Official kami untuk update artikel-artikel investor.id
Baca Berita Lainnya di Google News