Jakarta -
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara) mengumumkan batas maksimal penghasilan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang bisa membeli rumah subsidi di Jabodetabek naik menjadi Rp 14 juta per bulan. Sebelumnya, batas maksimal penghasilan MBR adalah Rp 7-8 juta.
Lalu, untuk MBR yang belum menikah dan ingin membeli rumah subsidi di Jabodetabek batasnya tetap Rp 12 juta per bulan.
"Jadi kita sepakati buat Jabodetabek kalau dia single Rp 12 juta, kalau sudah menikah Rp 14 juta. Sepakat ya bu (Kepala BPS)? Ini berubah lagi, tapi bagus. Ini kabar baik," kata Ara dalam acara penandatanganan MoU dukungan rumah subsidi untuk buruh di kantor Kementerian PKP, Jakarta Pusat, Kamis (10/4/2025) lalu.
Menanggapi hal ini, Direktur INDEF, Tauhid Ahmad menjelaskan, klasifikasi kelas dalam masyarakat berdasarkan penghasilan salah satu tujuannya untuk menentukan prioritas pemberian bantuan sosial. Semakin kecil penghasilan per bulannya berarti mereka adalah penerima bantuan prioritas dari pemerintah.
Tauhid menyampaikan masyarakat kelas bawah atau yang berpenghasilan rendah adalah yang memiliki total pemasukan di bawah Rp 8 juta. Sementara penghasilan antara Rp 8-14 juta sudah termasuk kelas menengah.
"Kalau kita lihat yang tadi kelas menengah memang, Rp 8-15 juta itu kelas menengah. Kalau yang di bawah Rp 8 juta itu kelompok menengah bawah per keluarga ya dan (kelompok ekonomi) di bawah mungkin Rp 4-5 juta yang masyarakat miskin gitu per keluarga," kata Tauhid kepada detikProperti, Jumat (11/4/2025).
Ia melihat dengan kenaikan batas penghasilan penerima rumah subsidi ini akan menimbulkan beberapa dampak. Salah satunya adalah semakin besar opsi rumah yang bisa dipilih oleh kelas menengah.
"Akhirnya tercampur antara yang bisa mendapatkan KPR non-subsidi (dengan yang harus mendapat subsidi) karena sekarang dibantu pemerintah melalui program ini," ungkapnya.
Dampak kedua, dikhawatirkan pilihan harga rumah untuk MBR berpenghasilan di bawah Rp 7 juta semakin sedikit karena pengembang lebih memilih melebarkan pasar untuk masyarakat dengan penghasilan Rp 8-14 juta.
"Karena melihat kemampuan, batas atasnya dilebarkan, sementara kelompok bawah yang dulunya dapat akhirnya marketnya semakin berkurang karena pengembang senangnya yang punya kapasitas keuangan lebih bagus," ujarnya.
Kemudian, dari sisi bank, kelas menengah juga bisa mendapat kesempatan lebih besar untuk mendapatkan persetujuan pengajuan KPR karena kemampuan membayarnya.
"Slip gajinya dan sebagainya yang satu punya gaji Rp 8 juta sama gaji yang katakanlah Rp 14 juta, pasti kan bank lebih senang yang gede karena kreditnya pasti lebih banyak. Bank senang karena semakin banyak yang dipinjam, bunganya juga bagus bagi bisnis bank," tuturnya.
Untuk mengatasi dampak yang mungkin terjadi, Tauhid menyarankan lebih baik batas penghasilan untuk MBR yang mendapatkan rumah subsidi kembali menjadi Rp 8 juta per bulan. Apabila ingin memberikan peluang bagi kelas menengah, bunga yang diberikan dibedakan antara yang penghasilan Rp 7 juta ke bawah dengan penghasilan Rp 8-14 juta.
Terpisah, Pengamat Properti sekaligus CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda memandang positif keputusan kenaikan batas penghasilan penerima rumah subsidi menjadi Rp 14 juta. Menurutnya, dengan kebijakan ini kelas menengah di perkotaan juga bisa mendapat kemudahan untuk memiliki rumah.
"Batas penghasilan menjadi Rp 14 juta cukup memperluas pasar sasaran. Saya menyoroti tidak hanya untuk MBR namun pemerintah perlu juga memperhatikan kaum menengah khususnya menengah perkotaan," ucapnya.
Ali menambahkan jika memungkinkan MBR seharusnya bisa mendapat insentif lebih dibandingkan dengan masyarakat kelas menengah agar semua kelas dapat terbantu untuk memiliki rumah.
"Harusnya ada (perbedaan suku bunga), bila MBR sekarang sampai Rp 14 juta, maka yang di atas itu yang tergolong menengah harusnya juga dapat insentif meski nggak setinggi yang MBR, supaya dapat mendongkrak daya beli," jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho menambahkan, naiknya batas maksimal penghasilan MBR untuk membeli rumah subsidi sejalan dengan semakin mahalnya hunian di perkotaan, dalam hal ini Jabodetabek.
Ia mengatakan, untuk mengatasi backlog di perkotaan sudah tidak mungkin lagi bertumpu pada rumah tapak yang lokasinya semakin jauh, maka dari itu perlu dibangun hunian vertikal. Akan tetapi, harga hunian vertikal jauh lebih mahal dibanding rumah tapak karena biaya konstruksinya.
"Sehingga perlu ada penyesuaian batas MBR-nya. Kalau (masih) Rp 8 juta khawatirnya nggak bakalan sanggup angsur rumah susun, kalau Rp 14 juta akan ada banyak segmen masyarakat termasuk buruh yang bisa masuk," paparnya.
(aqi/das)