
Januari lalu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dr Dadan Hindayana mengusulkan pemanfaatan serangga sebagai salah satu menu dalam program
Makan Bergizi Gratis (MBG). Pernyataan ini memicu beragam tanggapan dari berbagai pihak.
Menanggapi hal tersebut, peneliti IPB University di bidang entomologi, Prof Purnama Hidayat, menyebut bahwa serangga memang bisa menjadi alternatif sumber protein, terutama bagi masyarakat yang mengalami kekurangan gizi. Namun, ia melanjutkan, konsumsi serangga lebih sesuai bagi kelompok masyarakat yang sudah terbiasa mengonsumsinya.
“Bisa saja serangga masuk dalam program MBG, tetapi bagi masyarakat yang memang terbiasa mengonsumsinya. Misalnya di beberapa daerah Indonesia bagian timur, ulat sagu menjadi makanan yang umum dikonsumsi karena mudah didapatkan,” jelas dosen di Departemen Proteksi Tanaman, IPB University ini dalam keterangannya, Jumat, 14 Februari 2025.
Serangga jadi konsumsi di beberapa daerah
Ia mencontohkan, di beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, dan China, serangga sudah menjadi bagian dari konsumsi sehari-hari. Sementara di Indonesia, beberapa daerah juga mengenal serangga sebagai makanan, seperti belalang goreng di Gunung Kidul, kepompong jati di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pepes larva lebah (botok tawon) di Jawa Timur, dan lainnya.
Namun, menurutnya, tidak semua masyarakat mau dan cocok mengonsumsi serangga. Misalnya, masyarakat pesisir yang lebih mudah mendapatkan sumber protein (ikan dan lainnya) dari laut, sehingga serangga bukan pilihan utama mereka.
“Jadi, serangga memang bisa menjadi alternatif protein, tetapi cocok untuk masyarakat yang mau memakannya dan di daerah tertentu yang mendukung ketersediaannya,” ujarnya.
Kandungan Gizi Serangga
Dari segi kandungan gizi, Purnama menjelaskan, menurut banyak hasil penelitian, serangga memiliki protein yang tinggi. Ia juga mengungkapkan bahwa rasa belalang dan jangkrik mirip rasa udang karena sama-sama hewan beruas dan masih berkerabat dekat secara evolusi.
"Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa serangga yang dapat dimakan mengandung protein berkualitas tinggi, vitamin, dan asam amino yang bermanfaat bagi manusia,” kata dia.
Di sisi lain, serangga juga dianggap hewan sumber protein yang lebih efisien dalam memproduksinya.
“Serangga memiliki tingkat konversi pakan yang tinggi, misalnya jangkrik membutuhkan pakan enam kali lebih sedikit dibandingkan sapi, empat kali lebih sedikit dibandingkan domba, dan dua kali lebih sedikit dibandingkan babi serta ayam broiler untuk menghasilkan jumlah protein yang sama. Selain itu, serangga menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca dan amonia dibandingkan ternak konvensional,” ungkapnya.
Meski demikian, ia menyadari masih banyak orang yang enggan mengonsumsi serangga karena belum terbiasa.
“Dulu, orang menganggap aneh saat air minum dijual dalam botol, tetapi sekarang sudah menjadi kebiasaan. Hal yang sama bisa terjadi dengan serangga. Mungkin suatu saat, ketika sumber protein semakin sulit didapat, serangga akan menjadi pilihan utama,” tambah dosen yang menuntaskan gelar doktornya di Entomologi dari University of Wisconsin, Madison, USA.
.
Berdasarkan laman edibleinsects.com, serangga mengandung protein hewani lengkap yang mencakup sembilan asam amino esensial. Jangkrik, belalang, dan ulat sutra bahkan memiliki antioksidan tiga kali lebih banyak daripada jus jeruk. Selain itu, kandungan vitamin B12 pada jangkrik tiga kali lipat dibandingkan dengan ikan salmon.
(CEU)