KOMPAS.com - Glodok Plaza mengalami kebakaran yang berlangsung lebih dari sepuluh jam pada Rabu (15/1/2025).
Api pertama kali terdeteksi dari diskotek yang terletak di lantai tujuh, dan dengan cepat menyebar hingga mencapai atap gedung. Kebakaran Glodok Plaza ini memakan empat korban jiwa, sedangkan ada 10 korban lain yang dilaporkan hilang.
Beberapa orang juga sempat terjebak di dalam gedung Glodok Plaza yang terbakar, tetapi berhasil diselamatkan oleh petugas Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Jakarta.
Kebakaran ini menimbulkan kerugian material yang signifikan, mengingat Glodok Plaza merupakan salah satu pusat perdagangan terbesar di kawasan tersebut.
Meski begitu, kebakaran ini bukanlah peristiwa pertama yang mengancam kawasan yang telah dikenal sebagai jantung ekonomi dan budaya Tionghoa di Jakarta.
Glodok, dengan sejarah panjangnya, selalu beradaptasi dengan perubahan zaman, meskipun sering kali menghadapi tantangan besar.
Sejarah awal permukiman Tionghoa di Glodok
Dikutip dalam tulisan berjudulSejarah KawasanPecinan Pancoran Glodok dalam Konteks Lokalitas Kampung Kota Jakartayang ditulis Titin Fatimah dijelaskan bahwa kawasan Glodok bermula pada abad ke-17, ketika komunitas Tionghoa mulai menetap di sebelah timur muara Sungai Ciliwung, tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kalapa.
Mereka datang sebagai pedagang yang menjual arak, beras, dan kebutuhan lainnya, serta berperan sebagai pialang yang menghubungkan pedagang pribumi dengan pasar internasional.
Pada masa pemerintahan Pangeran Jayakarta, Belanda membangun gudang pertamanya di Batavia dengan izin dari pemimpin Jayakarta, dan kawasan ini menjadi pemukiman bagi orang-orang Tionghoa yang dipimpin oleh Watting.
Setelah Belanda menaklukkan Jayakarta pada tahun 1619, kota Batavia dibangun sebagai pusat administratif kolonial.
Namun, pengaturan administratif ini hanya berlaku di Kota Batavia, sementara pemukiman orang asing, termasuk orang Tionghoa, tetap memiliki peraturan khusus sendiri.
Pada masa itu, Tionghoa menjadi kelompok mayoritas di wilayah tersebut, dengan banyak imigran kelas menengah ke bawah tinggal di sisi barat Ciliwung, bercampur dengan masyarakat Jawa, serta melakukan perkawinan campur yang kelak dikenal sebagai Cina Benteng.
Pada tahun 1740, terjadinya pembantaian massal terhadap etnis Tionghoa di Batavia membuat pemerintah Belanda mengambil langkah drastis.
Untuk menghindari kerusuhan serupa, Belanda mengatur pemukiman orang Tionghoa di luar Benteng Batavia, tepatnya di kawasan Pancoran-Glodok, yang menjadi pusat pemukiman Tionghoa setelah peristiwa tersebut.
Kawasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Pecinan Glodok Pancoran, sebuah wilayah yang tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga pusat perdagangan dan ekonomi yang berkembang pesat.
Glodok-Pancoran: pusat ekonomi dan budaya Tionghoa
Kompas.com/ Suci Wulandari Putri Potret suasana kawasan wisata Pecinan Glodok jelang Imlek 2024, Kamis (18/1/2024). Sementara itu pada jurnal dijelaskan pada abad ke-19, Glodok-Pancoran telah berkembang menjadi salah satu pusat bisnis terpenting di Batavia.
Sungai dan kanal yang menghubungkan Glodok dan Pancoran menjadi jalur transportasi utama, membawa barang dagangan ke pasar. Makanan Tionghoa yang khas, seperti belut, ular kobra, dan ramuan ayam arak, banyak dijual di sekitar Gang Gloria.
Bahkan, pada 1980-an, kawasan ini terkenal hingga ke Hong Kong, dengan sejumlah artis yang datang untuk mencicipi kuliner khas Tionghoa.
Tidak hanya kuliner, Glodok-Pancoran juga dikenal dengan bangunan cagar budaya Tionghoa seperti kelenteng Kim Tek Ie dan Vihara Dharma Bhakti, yang menjadi landmark kawasan ini.
Berbagai bangunan dengan arsitektur Tionghoa lainnya, seperti Sekolah Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK), juga turut membentuk identitas kawasan ini sebagai pusat budaya Tionghoa di Jakarta.
Seiring berjalannya waktu, kawasan Glodok-Pancoran mengalami perubahan signifikan.
Bangunan tua yang dulunya menjadi ciri khas kawasan ini kini banyak yang terlantar dan tak terawat, sementara sungai yang dulunya menjadi jalur transportasi kini hanya tersisa sedikit, bahkan telah menjadi saluran pembuangan.
Kawasan yang dulu dikenal sebagai pusat budaya kini semakin sesak dengan pedagang kaki lima dan kendaraan bermotor, yang membuat kualitas spasial kawasan menurun.
Meskipun demikian, kawasan Pecinan Glodok-Pancoran masih mempertahankan unsur budaya Tionghoa yang kental. Banyak wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, datang untuk mengunjungi vihara dan kelenteng, serta menikmati kuliner khas yang ditawarkan.
Namun, tantangan besar bagi kawasan ini adalah bagaimana mempertahankan warisan budayanya di tengah tekanan urbanisasi dan modernisasi yang terus berkembang.