KOMPAS.com - Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengatakan, tidak semua anak-anak mendapatkan susu dalam program makan bergizi gratis.
Sebagaimana diberitakan Kompas.com pada Senin (23/12/2024), susu akan diberikan ke daerah-daerah yang termasuk sentra sapi perah.
Sementara daerah lain yang bukan sentra sapi perah, pengganti protein dapat diberikan lewat telur dan substitusi kalsium melalui daun kelor.
“Cukup bisa diganti dengan telur. Kalsiumnya bisa dengan kelor. Yang jauh dari susu dan logistiknya susah, ya tidak usah dipaksakan. Bisa ada (diganti) telur, bisa kelor,” ungkap Dadan.
Lantas, bagaimana perbandingan gizi antara susu, telur, dan daun kelor untuk makan bergizi gratis?
Penjelasan ahli
Peneliti pangan dari Chlorophyll Scientific, Daisy Irawan, menjelaskan penggunaan daun kelor secara umum kurang bisa memenuhi kebutuhan protein pada anak-anak.
Ia menerangkan, metoda analisa yang digunakan di sebagian besar laboratorium saat ini adalah metode Kjeldahl.
Metode ini mengukur total nitrogen dari bahan makanan yang kemudian hasilnya dikonversi menjadi protein.
Nilai konversi dari metode ini berbeda-beda untuk setiap produk. Contohnya, susu mengandung 6,38 gram protein dan kedelai di angka 5,71.
Nah, pada sayuran seperti daun kelor, tidak ada nilai konversinya karena senyawa pengganggunya banyak sekali.
“Misalnya, di dalam daun kelor ada Chlorophyll atau zat hijau daun. Di bagian tengah ada empat atom nitrogen. Senyawa ini bisa keliru dihitung sebagai protein, padahal bukan,” ungkap Daisy kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).
Dengan kata lain, kandungan protein daun kelor cukup jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan beberapa bahan makanan lain, seperti tahu, tempe, jamur, dan terlebih lagi telur atau susu.
“Jadi kalau daun kelor jika dibandingkan dengan tahu tempe, ya masih kalah. Dengan jamur, daun kelor juga cukup jauh kandungan proteinnya,” ungkap Daisy kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).
Daun kelor sebagai pengganti kalsium
Terkait dengan nilai kalsium, menurut Daisy, daun kelor juga kurang tepat dipilih untuk menggantikan susu bagi anak.
Daun kelor memang memiliki kandungan kalsium yang cukup tinggi. Meski demikian, daun kelor termasuk sayuran dengan serat kasar.
Sayuran dengan serat kasar umumnya nutrisi yang diproses oleh tubuh akan lebih sedikit dibandingkan yang dikonsumsi.
Ketika dikonsumsi, kelor hanya akan memberikan kalsium tinggi. Hal tersebut kurang efektif apabila tidak dibarengi dengan makanan tinggi protein lainnya.
Oleh karena itu, Daisy menganggap, pemberian daun kelor sebagai sumber protein maupun kalsium kepada anak-anak, terlebih mereka yang kurang gizi, adalah pilihan yang kurang tepat.
“Apabila ingin memenuhi kebutuhan kalsium anak-anak dengan sayuran, sebaiknya jangan hanya diberikan daun kelor. Bisa diganti-ganti atau dikombinasi dengan sayuran atau bahan makanan lain. Selain itu, penting untuk menambahkan produk protein pada makanan," terang Daisy.
Telur lebih efektif untuk menggantikan susu
Apabila pemberian susu akan digantikan, Daisy menilai, telur yang lebih baik dipilih daripada daun kelor sebagai sumber protein.
Kandungan protein pada susu dan telur hampir serupa.
Perbandingannya, satu gelas susu sapi bisa mengandung 8,14 protein, sementara satu butir telur rebus punya 6,3 gram protein.
Telur merupakan salah satu produk protein hewani yang sama dengan susu, daging sapi, ayam, dan ikan.
Selain itu, telur adalah salah satu sumber protein yang murah dan mudah dikonsumsi oleh seluruh kalangan usia.
“Kalau telur itu memang sumber protein yang mudah sekali diserap oleh tubuh. Makanya bisa digunakan oleh bayi, anak-anak, hingga lansia,” jelasnya.
Satu butir telur dapat menunjang kebutuhan protein anak apabila rutin dikonsumsi setiap harinya.
Pemberian susu dapat memicu intoleransi laktosa
Daisy mengingatkan, pemberian susu sapi pada anak-anak juga harus dilakukan secara hati-hati karena rawan akan intoleransi laktosa.
Intoleransi laktosa adalah ketidakmampuan tubuh untuk mencerna gula alami yang terdapat dalam susu.
Terlebih, banyak anak Indonesia yang mengalami intoleransi laktosa karena tidak terbiasa mengonsumsi susu sejak kecil.
Intoleransi laktosa beresiko terjadi pada anak-anak kelompok marginal yang sejak disapih tidak lagi mengonsumsi susu.
“Kalau orang Indonesia yang dari kecil tidak dibiasakan minum susu, enzim untuk mencerna laktosa saja tidak punya, sehingga bisa mengalami diare,” terang Daisy.
Apabila langsung diberikan tanpa melihat kebutuhan, kemungkinan anak untuk mengalami diare cukup tinggi.
Oleh karena itu, Daisy menyarankan, pemberian susu untuk makan bergizi gratis juga harus disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Di samping itu, dia memberi masukan, pemenuhan kebutuhan protein anak sebaiknya menggunakan sumber daya lokal. Misalnya, dengan pemberian kacang-kacangan dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), tempe, tahu, kecipir, susu kambing, dan aneka jenis jamur pangan yang mudah dibudidayakan di Indonesia.