Jakarta -
Pemerintah menyediakan kuota 220 ribu rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tahun ini. Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara) telah menandatangani sejumlah memorandum of understanding (MoU) program rumah subsidi untuk sejumlah segmen profesi, seperti buruh, wartawan, ojol, guru, hingga tenaga kesehatan.
Setelah penandatanganan MoU, pemerintah menjadwalkan akan melakukan serah terima kunci kepada beberapa pembeli pertama. Seperti rumah subsidi untuk buruh, serah terima kunci untuk 100 pembeli pertama dijadwalkan akan digelar pada 1 Mei, bertepatan dengan Hari Buruh. Kemudian, serah terima kunci program rumah subsidi untuk wartawan akan digelar pada 6 Mei 2025 untuk 100 pembeli pertama.
Pengamat Properti Anton Sitorus mengharapkan pemerintah benar-benar dapat mewujudkan program ini, bukan hanya menebar janji. Sebab, sejak awal kabinet Prabowo berjalan, belum ada satu pun program dari Kementerian PKP yang terlihat hasilnya.
"Kalau ada yang ngomong gitu, lalu pejabat kita ngomong apa, ya udah, didengar aja. Dia bilang bulan Mei akan ada serah terima ini dan segala macam, ya tunggu aja bulan Mei ada apa nggak gitu. Kan sampai sekarang kita belum melihat realisasi dari omongan-omongannya," kata Anton kepada detikProperti, Jumat (11/4/2025) lalu.
Lebih lanjut, menurutnya MoU bukanlah sebuah kesepakatan yang mengikat. Banyak proyek yang telah melakukan MoU berakhir kandas di tengah jalan. Seharusnya setelah adanya MoU ada perjanjian atau sebuah kontrak lanjutan, kemudian baru dimulainya pembangunan. Proses pembangunanya pun pasti memakan waktu, tidak terburu-buru.
"MoU itu baru rencana bahwa kedua pihak sepakat untuk berencana begini, tapi belum menjadi kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian atau kontrak. Kalau sudah ada kontrak, perjanjian yang bersifat hukum, legally binding gitu ya. Itu baru namanya sudah ada kesepakatan. Kita bisa lihat berapa banyak MoU yang akhirnya nggak jadi," jelasnya.
Anton pun mempertanyakan bagaimana skema yang akan disiapkan pemerintah untuk mempercepat dan mempermudah pembelian rumah subsidi untuk segmen-segmen profesi tersebut. Sebab, untuk mengajukan KPR memerlukan slip gaji untuk melihat pemasukan per bulan calon debitur. Sementara beberapa segmen profesi yang disasar pemerintah merupakan sektor informal yang terkadang tidak memiliki slip gaji.
"Dia sendiri mungkin ngerti apa nggak gitu, emang bisa nggak? Kayak terbit slip misalnya, kalau kayak ojol gitu, kayak pekerja yang penghasilan nggak tetap, itu bagaimana? Makanya kan dulu sempat ada tuh fasilitas kredit khusus. Tapi kan kita belum dengar gimana jadinya," ujarnya.
Terpisah, Direktur INDEF Tauhid Ahmad menjelaskan biasanya pengurusan pengajuan KPR di bank memakan waktu 2-3 bulan. Namun, jika jangka waktu MoU dengan serah terima yang kurang dari sebulan ini, ia memprediksi kemungkinan pemerintah telah menyiapkan skema khusus untuk mempercepat penyetujuan KPR.
"Kalau normal ya, bisnis as usual sih sulit ya. Menurut pengalaman saya dulu memfasilitasi (pengajuan KPR) ya kurang lebih 2-3 bulan ya. Tetapi karena ini program biasanya itu diajukan oleh masing-masing organisasi. Nah itu yang kemudian difasilitasi secara cepat. Misalnya kementerian akan menggandeng misalnya BTN, BRI, atau BSI atau bank apa pun yang ada program KPR-nya," ungkapnya.
Ada pun, menurut Pengamat Properti sekaligus CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan jika program rumah subsidi tersebut bisa berjalan tepat waktu kurang dari sebulan, kemungkinan rumah yang akan digunakan merupakan rumah-rumah yang sudah dibangun dan memang siap untuk ditempati dan dijual.
"Rumah subsidi untuk ojol, wartawan, dan buruh itu udah berjalan, ini lebih pada penekanan aja menurut saya. Waktu sebulan itu masuk akal aja karena rumah subsidi memang harus ready stock, dan program ini akan meningkatkan penjualan rumah-rumah yang saat ini sudah terbangun namun belum terjual," jelasnya.
Sementara itu, Ara menyebutkan salah satu syarat untuk membeli rumah subsidi adalah mereka termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang memiliki gaji maksimal Rp 14 juta per bulan bagi pasangan suami-istri dan Rp 12 juta per bulan bagi yang masih single.
Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho menambahkan, naiknya batas maksimal penghasilan MBR untuk membeli rumah subsidi sejalan dengan semakin mahalnya hunian di perkotaan, dalam hal ini Jabodetabek.
Ia mengatakan, untuk mengatasi backlog di perkotaan sudah tidak mungkin lagi bertumpu pada rumah tapak yang lokasinya semakin jauh, maka dari itu perlu dibangun hunian vertikal. Akan tetapi, harga hunian vertikal jauh lebih mahal dibanding rumah tapak karena biaya konstruksinya.
"Sehingga perlu ada penyesuaian batas MBR-nya. Kalau (masih) Rp 8 juta khawatirnya nggak bakalan sanggup angsur rumah susun, kalau Rp 14 juta akan ada banyak segmen masyarakat termasuk buruh yang bisa masuk," paparnya.
(aqi/das)