Pemerintah telah resmi menghapus pungutan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin membeli rumah.
Penghapusan kedua retribusi itu ditandai dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait, dan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo.
Adapun langkah itu ditujukan untuk mempercepat realisasi program 3 juta rumah per tahun sebagai salah satu prioritas Presiden Prabowo Subianto.
"Kami bertiga menandatangani Surat Keputusan Bersama yang intinya untuk mempercepat program pembangunan 3 juta rumah. Kita melihat bahwa ada beberapa yang bisa kita ringankan biayanya dan juga sekaligus mempercepat prosesnya," ujar Tito dalam konferensi pers di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (25/11).
Tito menjelaskan kriteria rumah MBR yang mendapatkan pembebasan retribusi tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 22/Kpts/M/2023. Peraturan itu mengatur batasan penghasilan serta luas bangunan untuk rumah umum dan rumah swadaya.
Berdasarkan aturan itu, penghasilan maksimal MBR diatur berdasarkan wilayah.
Untuk wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Bali, NTT, dan NTB, kategori tidak kawin maksimal pendapatan Rp7 juta per bulan, kategori kawin maksimal pendapatan Rp8 juta per bulan, kategori peserta Tapera maksimal pendapatan Rp8 juta per bulan.
Sementara bagi MBR di wilayah Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya, kategori tidak kawin maksimal pendapatan Rp7,5 juta per bulan, kategori kawin maksimal pendapatan Rp10 juta per bulan, kategori peserta Tapera maksimal pendapatan Rp10 juta per bulan.
Selain itu, untuk rumah tapak dan rumah susun, luas maksimal yang diperboleh adalah 36 meter persegi, sedangkan rumah swadaya dapat memiliki luas hingga 48 meter persegi.
Secara rinci, Tito memberi contoh harga rumah tipe 36 dapat dikurangi hingga Rp10,5 juta dengan diterapkannya aturan ini.
"Dengan adanya kebijakan ini, maka potensi untuk BPHTB dihapuskan itu nilainya untuk rumah tipe 36 lebih kurang Rp6,2 juta. Kemudian untuk izin PBG akan dibebaskan sebanyak Rp4,3 juta. Jadi untuk rumah tipe 36 sebetulnya bisa dihemat, dikurangi lebih kurang Rp10,5 juta," ujar Tito dalam konferensi pers di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (25/11).
Nantinya, SKB tersebut diteruskan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Adanya aturan itu juga secara otomatis mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebab, BPHTB dan PBG merupakan retribusi yang masuk dalam PAD.
"Saya juga sudah menyampaikan kepada teman-teman daerah supaya mereka mempelajari betul definisi masyarakat berpenghasilan rendah. Karena sebetulnya inilah PAD bagi mereka. Retribusi itu PAD tapi spesifik hanya untuk MBR," tutur Tito lebih lanjut.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri PKP Maruarar mengatakan kebijakan penghapusan ini akan berlaku mulai bulan depan. Menurutnya, program ini akan membantu menurunkan hambatan administratif yang kerap dihadapi MBR, sehingga target pemerintah untuk membangun 3 juta rumah bisa tercapai.
"Ini adalah kebijakan progresif yang berpihak pada rakyat kecil. Dukungan dari bupati, wali kota, dan gubernur. Proses ini tidak boleh lebih dari 10 hari karena keterlambatannya hanya akan menghambat rakyat kecil, tak sampai tahun depan, tapi Desember," jelas pria yang akrab disapa Ara itu.
Selain itu, SKB juga mencakup percepatan penerbitan PBG. Proses yang sebelumnya membutuhkan waktu 28 hari kini dipersingkat menjadi hanya 10 hari.