KOMPAS.com - Rencana pengoperasian rute baru Transjabodetabek Kota Wisata di Kabupaten Bogor menuju Cawang di Jakarta Timur, yang diinisiasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PT Transportasi Jakarta, masih menemui hambatan.
Hingga April 2025, layanan ini belum bisa dinikmati warga penghuni dan masyarakat umum karena Pengelola Perumahan Kota Wisata, PT Mekanusa Cipta, belum mengeluarkan surat dukungan yang diminta operator.
Kendala teknis dan kebutuhan kajian lebih lanjut menjadi alasan utama, meskipun rencana ini mendapat sorotan positif dari pengamat transportasi dan warga yang mengharapkan transportasi umum murah.
Transjabodetabek, sebagaimana kita ketahui, merupakan perluasan layanan Transjakarta yang bertujuan menghubungkan Jakarta dengan wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Rute Kota Wisata-Cawang, yang melintasi Jatiasih, menjadi salah satu dari empat rute baru yang direncanakan, bersama Bekasi-Cawang, Alam Sutera-Blok M, dan Binong-Grogol.
Rute ini diharapkan mempermudah mobilitas warga Perumahan Kota Wisata, menuju pusat transportasi Cawang, yang terhubung dengan LRT Jabodebek dan koridor utama Transjakarta.
Layanan ini didukung subsidi operasional dari APBD Provinsi DKI Jakarta, menawarkan tarif murah, sekitar Rp 3.500 untuk layanan non-BRT, sehingga menjadi solusi bagi pekerja, pelajar, dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Uji coba rute ini telah dimulai sejak 14 Maret 2025, dengan rencana trayek dari Hero Kota Wisata melalui Jalan Raya Narogong, Pasar Bantar Gebang, Jalan Cipendawa Baru, Jalan Swatantra V, Jalan Raya Jatiasih, hingga masuk Tol JORR 1 menuju Halte BNN Cawang.
Namun, operasional penuh tertunda karena pengelola belum memberikan izin formal.
Kendati dalam surat tanggapan yang dikirimkan kepada Kompas.com, Sabtu (19/4/2025), PT Mekanusa Cipta mengapresiasi inisiatif PT Transportasi Jakarta, namun belum bisa mengeluarkan surat dukungan karena tiga kendala utama.
Pertama, kondisi badan jalan belum memadai. Jalan di dalam Perumahan Kota Wisata, mereka nilai belum cukup lebar dan kuat untuk dilalui bus Transjabodetabek, yang merupakan kendaraan umum skala besar.
Kedua, pengelola mengeklaim, belum mendapat izin dari warga di sekitar rute yang akan dilalui, mempertimbangkan potensi gangguan seperti kebisingan atau kemacetan.
Ketiga, keterbatasan lahan operasional, di mana area Kota Wisata belum memiliki lahan yang ideal untuk menampung fasilitas operasional bus, seperti tempat parkir atau halte.
Untuk mengatasi kendala ini, pengelola mengusulkan kajian partisipatif bersama PT Transportasi Jakarta dan pemangku kepentingan lainnya.
Kajian ini bertujuan mengidentifikasi kebutuhan, dampak, dan solusi yang inklusif bagi warga Kota Wisata, penghuni sekitar, dan masyarakat luas.
Pengelola juga menyatakan keterbukaan untuk berdiskusi mengenai aksesibilitas Transjakarta ke wilayah lain yang mereka kelola.
Dorongan Pengamat Transportasi
Pengamat transportasi yang juga akademisi dari Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua MTI Pusat Djoko Setijowarno menilai, penolakan terhadap Transjabodetabek oleh pengelola Kota Wisata tidak seharusnya terjadi.
Meskipun kawasan ini telah dilayani JR Connexion yakni layanan bus penghubung ke stasiun LRT atau pusat kota, Transjabodetabek menawarkan keunggulan berupa tarif murah berkat subsidi APBD DKI Jakarta.
Djoko menegaskan, layanan ini akan sangat bermanfaat bagi pekerja di Kota Wisata, terutama kelompok berpenghasilan setara UMR, seperti asisten rumah tangga, pelajar, atau mahasiswa.
“Kelompok ini tidak perlu membeli sepeda motor untuk ke tempat kerja. Cukup dengan Transjabodetabek bertarif murah, bahkan bisa masuk kategori bebas bayar,” ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (19/4/2025).
Ia juga menyoroti bahwa transportasi umum di perumahan elite seperti Kota Wisata tetap diperlukan untuk mendukung mobilitas pekerja dan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
Djoko mendesak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Bupati Bogor Rudy Susmanto untuk memperhatikan pengembang perumahan yang menolak Transjabodetabek.
Menurutnya, keputusan seharusnya tidak hanya bergantung pada pengelola, melainkan melibatkan suara warga.
“Sebagian wilayah NKRI sudah dikuasai oligarki. Tidak perlu minta surat dukungan dari pengembang, masyarakat yang membuat keputusan,” tegasnya.
Sentimen Publik di Media Sosial
Reaksi warga terhadap penundaan rute ini tentu saja menyayangkan. Bahkan, Sabtu (19/4/2025) muncul petisi Warga Perumahan Kota Wisata yang diinisiasi Linda Rooroh.
Petisi ini meminta pengelola Kota Wisata untuk melakukan tiga hal. Pertama meminta pengelola Kota Wisata mendukung pengembangan Transjadebotabek.
Kedua, meminta pengelola Kota Wisata untuk berkoordinasi dengan pihak terkait dalam meningkatkan infrastruktur transportasi umum.
Ketiga, meminta pengelola Kota Wisata untuk mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dalam pengembangan transportasi umum.
Hingga artikel ini tayang, petisi tersebut telah ditandatangani oleh 451 orang.
Sementara di platform X, sejumlah pengguna menyayangkan sikap pengelola, dengan menyebut penundaan ini sangat merugikan penghuni yang membutuhkan transportasi umum murah.
Salah satu unggahan menyebut Kota Wisata sebagai car-centric housing developer yang menolak akses bus gratis dari Pemprov DKI.
Pengguna lain mempertanyakan alasan penolakan, mengingat operasional rute ini sepenuhnya dibiayai APBD DKI untuk membantu mobilitas warga, termasuk di Kabupaten Bogor.
Urgensi Transportasi Umum di Perumahan
Djoko menegaskan, perumahan tanpa transportasi umum menjadi kurang layak huni. Terlebih perumahan elite seperti Kota Wisata yang saat ini telah dihuni oleh lebih dari 45.000 orang dari puluhan klaster.
Kehadiran Transjabodetabek di Kota Wisata dapat mengurangi kemacetan, mendukung efisiensi waktu, dan meningkatkan kenyamanan perjalanan warga menuju pusat bisnis dan pemerintahan di Cawang.
Di sisi lain, pengelola Kota Wisata memiliki alasan teknis, seperti keterbatasan infrastruktur jalan dan lahan.
Namun, pandangan Djoko bahwa suara warga harus didahulukan menunjukkan perlunya keseimbangan antara kepentingan pengelola dan kebutuhan publik.
Kajian partisipatif yang diusulkan pengelola bisa menjadi langkah awal, tetapi percepatan keputusan diperlukan agar manfaat layanan ini segera dirasakan.
Peran Pemerintah Daerah yakni Gubernur Jawa Barat dan Bupati Bogor dapat memfasilitasi dialog agar pengelola mendukung kebijakan transportasi publik yang selaras dengan kepentingan warga.