BGN mengungkap peluang serangga sebagai menu makanan bergizi gratis. Dokter gizi menilai perlu kajian lebih lanjut terkait kemungkinan alergi pada anak. [489] url asal
Badan Gizi Nasional (BGN) mengungkap potensi serangga hingga ulat untuk menjadi menu makanan bergizi gratis (MBG) di daerah tertentu. Rencana itu pun mendapat sorotan dari dokter spesialis gizi.
Dilansir dari detikHealth, Senin (27/1/2025), dokter spesialis gizi Johanes Chandrawinata, SpGK menilai rencana tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Dia menilai tidak semua orang suka makan serangga apalagi ada kemungkinan reaksi alergi pada anak jika dikonsumsi.
"Jarang (efek samping) tapi bisa ada reaksi alergi terhadap serangga, tentu bila alergi harus menghindari makanan penyebab," kata dr Johanes saat dihubungi detikcom.
dr Johanes mengaku serangga memang bisa menjadi makanan alternatif. Di Eropa dan Amerika, belalang bahkan sudah lama dikonsumsi.
Dia memaparkan serangga seperti jangkrik mengandung 460 kalori, 18,5 gram lemak, dan 69 gram protein per 100 gram mentah. Sementara belalang mengandung 560 kalori, 38 gram lemak, dan 48 gram protein per 100 gram.
Serangga jenis ulat sagu pun kayak akan protein. Sebanyak 100 gram ulat sagu mengandung 9,7 gram protein dan 21,5 gram lemak.
"Belalang memang bisa menjadi alternatif pangan tinggi protein dan tinggi lemak," tuturnya.
Dia mengatakan, sekitar dua miliar orang di dunia mengonsumsi serangga setiap hari. Bahkan terdapat lebih dari 2 ribu spesies belalang yang dimakan.
"Pada berbagai kebudayaan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, termasuk Eropa dan Amerika, belalang sudah lama dikonsumsi," ucap dr Johanes.
Diketahui, Kepala BGN Dadan Hindayana membuka peluang serangga menjadi menu MBG. Dia lantas mencontohkan di beberapa daerah yang masyarakatnya sudah terbiasa mengkonsumsi belalang.
"Sebagian masyarakat Gunung Kidul biasa mengkonsumsi belalang. Masyarakat Papua biasa makan ulat sagu," kata Dadan kepada wartawan, Sabtu (25/1).
Dadang menuturkan jangkrik bahkan diperjualbelikan menjadi makanan ringan. Dia menegaskan pihaknya tidak menetapkan standar menu nasional untuk MBG, melainkan hanya mengacu pada standar komposisi gizi.
Menurut Dadan isi protein di berbagai daerah bergantung pada potensi sumber daya lokal dan kesukaan lokal. Dia pun meminta semua pihak tidak mengartikan lain tentang kemungkinan ini.
"Karena kalau di daerah yang banyak telur, ya telurlah mungkin mayoritas. Yang banyak ikan, ikanlah yang mayoritas, seperti itu," imbuhnya.