Jakarta -
Jakarta sebagai kota metropolitan masih mempunyai permukiman padat penduduk berisi rumah-rumah tidak layak huni. Satu rumah kecil dihuni hingga tiga kepala keluarga pun menjadi pemandangan lumrah di sejumlah kawasan.
Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan fenomena satu rumah diisi banyak penghuni sudah berlangsung lama di kota besar, seperti Jakarta. Bahkan, penghuni sampai harus tidur bergantian karena rumah terlalu sempit.
"Fenomenanya, ada yang harus tidur bergantian. Kalau yang kerja malam, maka beristirahat di pagi hari, bahkan memenuhi fasilitas publik seperti musala misalnya. Mengingat, rumah tidak ideal dijadikan tempat tinggal, di mana satu rumah dapat dihuni 2 hingga 3 keluarga," ujar Devie kepada detikProperti, Rabu (13/11/2024).
"Kondisi ini tercipta sebagai dampak dari kebijakan pembangunan di masa Orde Baru yang berpusat pada Pulau Jawa, khususnya Kota Jakarta. Hal ini mendorong, penduduk dari daerah lain melihat Jakarta sebagai pusat kehidupan utama, khususnya untuk mencari pekerjaan, pendidikan dan pemukiman," katanya.
Ia mengatakan 'daya pikat' ini yang mendorong banyak masyarakat berbondong-bondong ke Jakarta mencari pekerjaan. Akan tetapi, ketidaksesuaian keterampilan membuat mereka memiliki keterbatasan dalam bekerja, sehingga penghasilan tidak cukup untuk kehidupan yang layak.
"Sayangnya, kehadiran mereka tidak dibekali pengetahuan bahwa struktur ekonomi di Jakarta, sebagian besar bersifat jasa yang membutuhkan keterampilan formal yang ditandai dengan standar pendidikan minimal yang tinggi. Akibatnya, banyak pendatang yang harus terpinggirkan, namun tidak mungkin kembali ke daerah asalnya," jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, satu keluarga berkembang dan saudara-saudara dari daerah pun datang. Mereka semua bisa tinggal di satu kawasan, bahkan satu rumah.
"Ketika saudara-saudara mereka di desa mengetahui keluarganya sudah 'bertahan' di Jakarta, mereka pun tergiur untuk mengikuti jejak keluarga pendahulu. Sang keluarga, tidak kuasa menolak, dan akhirnya mereka tinggal bersama-sama di tempat tinggal tidak layak tersebut," imbuhnya.
Devie juga menyebut pembangunan Indonesia baru dimulai 10 tahun belakangan ini. Menurutnya, Jakarta bisa saja menjadi kota layak huni tanpa permukiman padat penduduk kalau pembangunan secara merata sejak 50 tahun lalu.
"Kebijakan yang membangun Indonesia seutuhnya bahkan dari pinggiran, baru dimulai 10 tahun terakhir. Andaikan, sejak 50 tahun lalu sudah dirancang demikian, maka kita tidak melihat dua wajah (hybrid) Jakarta yaitu wajah formal dan megah dengan gedung-gedung tingginya dan wajah lain yang informal dengan kawasan tidak layak huni," ucapnya.
Terpisah, Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga mengatakan penyebab fenomena permukiman padat penduduk yang tidak layak adalah keterbatasan lahan dan harga tanah yang mahal. Masyarakat yang tidak mampu membeli rumah akhirnya bertahan di rumah tempat mereka tumbuh.
"Permukiman padat penduduk selalu muncul karena keterbatasan lahan kota untuk tempat tinggal. Sementara harga tanah di Jakarta semakin mahal ke pusat kota. Warga yang sudah tinggal di pusat sejak lama, karena tidak memiliki dana sehingga tidak bisa pindah ke tepi, pinggir, (atau) luar kota Jakarta, terpaksa tinggal berhimpitan di atas tanah yg ada," kata Yoga kepada detikProperti dalam keterangan tertulis.
Ia menyebutkan ada beberapa permukiman padat penduduk yang tersebar di Jakarta. Fenomena ini bisa ditemui di kawasan seperti Kelurahan Tanah Tinggi, Tamboran, dan Taman Sari, Jakarta Barat.
Selain itu, permukiman padat penduduk dapat disebabkan kondisi ekonomi masyarakat yang kurang baik lantaran tidak memiliki pekerjaan yang layak. Dengan begitu, mereka yang belum mampu memiliki hunian lain terpaksa tetap tinggal bersama keluarga besar.
"Keterbatasan ekonomi dan kemiskinan yg turun temurun karena tidak memiliki pekerjaan yang layak, membuat mereka tidak punya pilihan untuk berpindah, sehingga terpaksa tetap bertahan tinggal dalam satu rumah tersebut,
Sebelumnya, kisah warga Kecamatan Johar Baru, Nenek Hasna (62) menyita perhatian publik lantaran sempat tinggal di rumah sempit berukuran 2x3 meter. Ia hidup bersama 12 anggota keluarganya.
"Dulu masih 5 orang, sekarang ada buyut malah jadi 13 (orang)," ujar Nenek Hasna di lokasi, Selasa (5/11/2024).
Anak dan cucunya belum mampu mengontrak, sehingga terpaksa tinggal bersamanya. Ia pun harus hidup berhimpitan sampai tidur dalam posisi duduk dan meringkuk.
"Itu (cucu) kalau nangis di atas (mungkin karena) kesempitan kali, turun ke (lantai) bawah. Jadi kita nggak bisa tidur, (tidur sambil) duduk nyender ke pintu," tuturnya.
(dhw/das)