JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai adanya potensi pemborosan anggaran negara dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Potensi pemborosan anggaran tersebut terjadi akibat menu MBG yang tidak memenuhi standar gizi dan kualitas makanan. Tidak sesuainya standar tersbeut diketahui menyebabkan terjadinya kasus keracunan MBG di sejumlah daerah.
"Di beberapa temuan kita, mulai dari rencana menu hingga komposisinya, itu tidak sesuai standar gizi. Padahal, di awal, cita-cita MBG ini untuk mengentaskan stunting dan memenuhi kebutuhan gizi anak-anak," kata Staf Divisi Riset ICW Eva Nurcahyani, dalam diskusi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (29/4/2025).
ICW sendiri melakukan pemantauan program MBG di sejumlah sekolah di Jakarta pada 12 Maret hingga 24 April 2025.
Dari pemantauan itu, ICW mendapati laporan dari sejumlah guru yang mengeluhkan menu MBG yang tidak layak dikonsumsi. Bahkan pada akhirnya dibuang karena tidak mau dimakan oleh siswa.
Kondisi tersebut dipandang sebagai ironi, karena kebijakan efisiensi anggaran untuk program MBG justru tak maksimal. Bahkan cenderung bermasalah karena banyak terjadinya kasus-kasus keracunan.
"Ini secara kebijakan dari Bapak Prabowo juga menjadi catatan. Mereka bilang ada efisiensi dan sebagainya, tapi dengan adanya implementasi ini malah menghambur-hamburkan uang," kata Eva.
Peran Kantin
Selain menghamburkan anggaran, program MBG juga dilihat berdampak terhadap ekosistem yang terjadi di sekolah. ICW menyorot turunnya pendapatan kantin sekolah setelah adanya program MBG.
Berdasarkan wawancara ICW dengan sejumlah kantin di sekolah, para pemilik atau penjaga kantin sekolah merasakan penurunan pendapatan dan tak dilibatkan dalam program MBG.
"Implementasi MBG ini tidak secara detail melihat bagaimana ekosistem sekolah yang sudah ada sebelum ada MBG, itu tidak diperhatikan. Harusnya kan ada kerja sama paling tidak atau merangkul kantin-kantin yang memang sudah bersama di situ, di sekolah tersebut," kata Eva.
Program MBG juga menambah beban bagi guru, sebab mereka juga harus terlibat dalam proses distribusi dan pengawasan makanan.
Kondisi tersebut tentu akan mengganggu proses belajar-mengajar antara guru dan siswa.
"Ada beban tambahan dari guru yang di mana ini justru akhirnya juga mengacaukan konsentrasi atau proses belajar-mengajar di sekolah," kata Eva.
ICW mendesak pemerintah untuk mengevaluasi desain pelaksanaan MBG agar lebih adaptif terhadap realitas sekolah dan kebutuhan siswa yang beragam. Serta memastikan bahwa kebijakan ini mendukung, bukan merusak ekosistem pendidikan.
Jawaban BGN
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengatakan, sudah ada kantin sekolah yang dilibatkan dalam penyaluran MBG.
Dadan mengatakan bahwa program MBG pada dasarnya dikembangkan untuk merangkul semua pihak. Ia mencontohkan pelibatan kantin di Sekolah Bosowa Bina Insani Bogor.
Ke depannya, BGN berencana untuk mengajak kantin-kantin sekolah berkolaborasi menyukseskan program MBG yang merupakan andalan Presiden Prabowo Subianto ini.
“Kita akan kembangkan lebih lanjut untuk kantin-kantin sekolah lainnya," ujar Dadan.