Menteri PKP Maruarar Sirait menaikkan batas penghasilan MBR untuk rumah subsidi di Jabodetabek menjadi Rp 14 juta. Kebijakan ini sambut baik pengembang. [702] url asal
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (HIMPERRA) Ari Tri Priyono mengatakan perlu ada cara dapat yang mempermudah calon konsumen untuk mengajukan KPR terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Menurutnya, Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) kerap menjadi hambatan bagi calon debitur terutama MBR untuk mengajukan KPR.
Ia mengapresiasi upaya Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang tengah berjuang agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperjelas aturan kredit bagi calon konsumen yang memiliki kredit non-lancar pada SLIK.
"Kenyataan di lapangan, teman-teman pengembang mendapatkan beberapa hambatan karena bank sulit menyetujui calon pembeli yang berstatus rendah di SLIK. Padahal dalam aturan OJK, tidak ada ketentuan yang melarang pemberian kredit atau pembiayaan untuk debitur yang memiliki kredit dengan kualitas non-lancar. Kami ingin ada solusi dari masalah itu," kata Ari disela-sela pelaksanaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) HIMPERRA 2025, Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta, seperti yang dikutip detikcom dari keterangan tertulis, Sabtu (19/4/2025).
Di kesempatan yang sama, Tri juga menyambut antusias kebijakan Menteri PKP Maruarar Sirait (Ara) yang telah menaikkan batas maksimal penghasilan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang bisa membeli rumah subsidi di Jabodetabek menjadi Rp 14 juta per bulan bagi yang sudah menikah. Sebelumnya, batas maksimal penghasilan MBR adalah Rp 7-8 juta. Sementara itu, untuk MBR yang belum menikah dan ingin membeli rumah subsidi di Jabodetabek batasnya tetap Rp 12 juta per bulan.
Menurutnya, kebijakan ini membuka kesempatan untuk masyarakat mendapatkan rumah dengan harga terjangkau.
"Artinya kebijakan itu makin memperluas peluang MBR bisa mendapatkan rumah, mulai dari rentang pendapatan Rp 3-14 juta. Kebijakan ini, sangat baik bahkan," kata Ari.
Ari mengatakan perlu adanya skema baru untuk kelompok sasaran berpenghasilan di atas Rp 8-14 juta untuk menarik minat konsumen terutama milenial.
"Sehingga masyarakat yang selama ini ingin membeli rumah di atas Rp 185 juta sampai dengan Rp 400 jutaan, bisa juga menikmati insentif bunga murah. Suku bunga KPR-nya bisa 2-3 persen di atas suku bunga KPR subsidi yang berlaku saat ini. Kami yakin banyak yang tertarik," jelasnya.
Lebih lanjut, Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho menjelaskan, selain memperluas batas penghasilan penerima subsidi, pemerintah juga akan meningkatkan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sampai dengan dua kali lipat, yaitu sebanyak 440 ribu unit rumah sepanjang 2025.
Lalu, pemerintah juga akan menyediakan pendanaan khusus rumah komersil (harga rumah Rp 400 juta) dengan kuota hingga 100 ribu unit, lewat mekanisme pasar.
"Untuk mendukung pembiayaan Program 3 Juta Rumah, pemerintah dan BI menyiapkan dukungan likuiditasnya lewat peningkatan kuota FLPP hingga 440 ribu unit (Bunga KPR 5 persen dan harga rumah Rp 175 juta). Dengan proyeksi kebutuhan pendanaan sebesar Rp 56,6 triliun. Terdiri atas SBUM Rp 1,8 triliun, FLPP Rp 47 triliun, dan SMF Rp 7,9 triliun," jelas Heru.
Direktur Consumer BTN Hirwandi Gafar mengungkapkan penambahan kuota FLPP ini merupakan kesempatan yang baik bagi masyarakat pengembangan dan perbankan.
"BTN menyambut baik, (kenaikan kuota). Tetapi teman teman pengembang juga harus terus meningkatkan kualitas pengembangannya, baik fisik bangunan maupun kenyamanan lingkungan. Jangan sampai peningkatan kuantitas tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas," ujarnya.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan kebijakan untuk mendukung program 3 juta rumah. Salah satunya soal pembiayaan di sektor perumahan yang lebih mudah.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan kebijakan yang dimaksud meliputi kualitas KPR yang dapat dinilai hanya berdasarkan ketepatan pembayaran.
Kebijakan ini lebih longgar dibandingkan kredit lainnya di mana bank menilai dengan 3 hal, yakni prospek usaha, kinerja debitur, kemampuan membayar.
"KPR dapat dikenakan bobot risiko yang rendah dan ditetapkan secara granular dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR Kredit), serta mencabut larangan pemberian kredit pengadaan/pengolahan tanah sejak 1 Januari 2023 untuk mendukung sisi pendanaan kepada pengembang perumahan," kata Mahendra dalam acara konferensi pers KSSK, di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (24/1/2025).
Selain itu, OJK bersama kementerian/lembaga serta pihak bank akan membahas mengenai dukungan likuiditas bagi pembiayaan program 3 juta rumah, mengingat besarnya kebutuhan dana yang dibutuhkan untuk program itu. Di antaranya, lain penyempurnaan skema Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA SP) di Pasar Modal.
Mahendra menekankan penggunaan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dalam proses pemberian kredit/pembiayaan perumahan bagi masyarakat, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) bukan merupakan satu-satunya faktor dalam pemberian kredit/pembiayaan.
Dia mengakui SLIK memang menjadi salah satu informasi yang dapat digunakan dalam analisis kelayakan calon debitur. Namun, SLIK bukan merupakan satu-satunya faktor dalam pemberian kredit. Untuk itu, OJK memberikan layanan pengaduan bagi masyarakat yang mendapatkan kendala dalam pengajuannya.
"OJK juga menyiapkan kanal pengaduan khusus pada Kontak 157 untuk menampung pengaduan jika terdapat kendala dalam proses pengajuan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) untuk MBR dimaksud," imbuh Mahendra.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyampaikan berbagai kebijakan relaksasi di sektor perumahan telah diaktivasi oleh OJK ... [489] url asal
Kami optimis program pemerintah untuk menyediakan tiga juta hunian hunian bagi masyarakat berpendapatan rendah dapat terlaksana dengan baik
Jakarta (ANTARA) - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyampaikan berbagai kebijakan relaksasi di sektor perumahan telah diaktivasi oleh OJK sebagai bentuk dukungan program tiga juta rumah.
"Kami sampaikan telah diaktivasi berbagai kebijakan relaksasi di sektor perumahan seperti kualitas KPR yang dapat dinilai hanya berdasarkan ketepatan pembayaran," kata Mahendra dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Selasa.
Mahendra merinci sejumlah kebijakan tersebut, salah satunya kualitas kredit kepemilikan rumah (KPR) dapat dinilai hanya berdasarkan ketepatan pembayaran sesuai dengan Peraturan OJK (POJK) No.40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.
Penetapan kualitas aset produktif untuk debitur dengan plafon sampai dengan Rp5 miliar dapat dilakukan hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok atau bunga yang dikenal dengan istilah satu pilar, yang juga dapat diberlakukan untuk KPR.
"Pemanfaatan dari POJK 40 Tahun 2019 ini, maka pemberian (plafon) untuk debitur sampai Rp5 miliar dapat hanya menggunakan satu pilar saja," kata dia.
Perlakuan penilaian kualitas aset tersebut bersifat lebih longgar dibandingkan kredit lainnya di mana bank menilai dengan tiga pilar antara lain prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar.
Kebijakan lainnya, KPR dapat dikenakan bobot risiko yang rendah dan ditetapkan secara granular dalam penghitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit atau ATMR kredit.
Hal ini sesuai dengan SEOJK Nomor 24 Tahun 2021 tentang Perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar bagi Bank Umum.
Kredit untuk properti rumah tinggal dapat dikenakan dengan bobot risiko ATMR kredit yang rendah dibandingkan kredit lainnya, antara lain kredit kepada korporasi.
Dalam ketentuan itu, bobot risiko ditetapkan secara granular dengan bobot rendah sebesar 20 persen berdasarkan loan to value (LTV).
Adapun LTV dalam konteks ATMR kredit dihitung pada setiap posisi akhir bulan berdasarkan nilai tercatat kredit dibandingkan nilai agunan properti. Sehingga dengan adanya pembayaran cicilan kredit dan semakin mendekati jatuh tempo, akan terjadi penurunan LTV yang diikuti dengan penurunan bobot ATMR kredit.
"Dengan begitu, perbankan memiliki ruang permodalan yang lebih besar untuk menyalurkan KPR selanjutnya," kata Mahendra.
Kemudian, kebijakan lain yaitu untuk mendukung sisi pendanaan kepada pengembang perumahan. Mahendra mengatakan bahwa larangan pemberian kredit pengadaan atau pengolahan tanah telah dicabut sejak 1 Januari 2023.
"OJK telah memberikan keleluasaan bagi pengembang perumahan untuk memperoleh pembiayaan dari perbankan guna melakukan pengadaan atau pengolahan tanah yang sebelumnya dilarang. Dengan dicabutnya larangan itu, bank diimbau agar lebih menekankan pada penerapan manajemen risiko yang baik," kata Mahendra.
Selanjutnya, OJK bersama stakeholder terkait akan membahas mengenai dukungan likuiditas bagi pembiayaan program tiga juta rumah mengingat besarnya kebutuhan dana yang dibutuhkan untuk program dimaksud, antara lain penyempurnaan skema Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA SP) di pasar modal.
"Dengan berbagai dukungan kebijakan itu, maka kami optimis program pemerintah untuk menyediakan tiga juta hunian hunian bagi masyarakat berpendapatan rendah dapat terlaksana dengan baik," kata Mahendra.