Jakarta -
Masih banyak rumah tidak layak huni di kawasan permukiman padat penduduk kota Jakarta. Kawasan tersebut membutuhkan penataan agar bisa meningkatkan kualitas hidup warganya.
Menurut Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga, pemerintah dapat meremajakan permukiman padat penduduk dengan mengubahnya menjadi rumah susun. Ada beberapa langkah yang perlu dilalui seperti mengecek status kepemilikan tanah dan bermusyawarah dengan masyarakat.
"Solusi penataan permukiman kumuh dilakukan dengan lima langkah, yakni pertama cek legalitas peruntukan lahan dan sertifikat hak milik tanah yang dihuni warga. Kedua, jika sesuai peruntukan maka dapat dilakukan peremajaan permukiman padat. Ketiga, konsolidasi lahan dan negosiasi dengan warga solusi menata ulang permukiman," ujar Yoga kepada detikProperti, Rabu (13/11/2024).
Selanjutnya, permukiman tersebut dibongkar dan dibangun rumah susun dengan status kepemilikan (rusunami) atau sewa (rusunawa). Hal ini bermaksud agar warga bisa memiliki hunian dengan luas yang lebih layak. Adapun masyarakat bisa sementara waktu tinggal di rusun terdekat, dibiayai pemerintah daerah Jakarta.
"Keempat, permukiman diubah menjadi rusunawa atau rusunami. Kawasan menjadi lega, ada jalur dan tempat evakuasi bencana, jaringan utilitas terpadu, lingkungan lebih sehat, dan bebas kebakaran," katanya.
"Kelima, implementasi solusi yang telah disepakati, selama pembangunan rusunawa atau rusunami, warga di permukiman padat ditampung sementara di rusunawa terdekat dengan biaya ditanggung penuh Pemda Jakarta," sambungnya.
Menurutnya, permukiman padat yang tidak layak huni menciptakan lingkungan hidup yang tidak sehat bagi penghuni. Mengingat, rumah berukuran kecil, berdekatan dengan rumah lain, serta dihuni oleh banyak orang.
"Permukiman padat tentu tidak layak huni karena rumah tidak sehat, tidak cukup akses air bersih, sanitasi tidak ada atau terbatas, sirkulasi udara dan cahaya matahari tidak memadai atau sumpek, warga mudah stres," jelasnya.
Selain itu, ia mengungkapkan fenomena ini sudah menjalar ke kota satelit Jakarta, yakni Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Begitu juga dengan kota besar lain seperti Bandung dan Surabaya.
Terpisah, Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan fenomena tersebut berawal dari masyarakat daerah yang pindah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Menurutnya, solusi yang perlu dilakukan adalah membangun daerah di luar Jakarta, sehingga masyarakat terpenuhi perekonomian dan tidak perlu pindah ke Jakarta.
"Solusi untuk mengurai persoalan ini ialah dengan memastikan para pemerintah daerah serius membangun daerahnya masing-masing, tidak ada kebocoran anggaran, yang berakibat pada tertutupnya potensi ekonomi daerah, sehingga warga terpaksa harus meninggalkan sanak saudara di kota asal, untuk mengadu peruntungan di Jakarta," terangnya.
Ia mengatakan pembangunan daerah kawasan perlu ditata dengan membuat permukiman terjangkau, layak huni, dan strategis. Lalu, permukiman bisa dibangun secara vertikal sebagaimana di kota-kota besar di luar negeri.
"Di Jakarta, apartemen itu untuk orang kaya, padahal di negara-negara maju orang yang memiliki uang pasti punya rumah tapak. Ini paradox di negara ini," ucapnya.
Sebelumnya, Nenek Hasna (62) viral karena tinggal rumah berukuran 2x3 meter bersama 12 anggota keluarganya. Ia tinggal di permukiman padat penduduk di Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat.
"Dulu masih 5 orang, sekarang ada buyut malah jadi 13 (orang)," ujar Nenek Hasna di lokasi, Selasa (5/11) lalu.
Anak dan cucunya belum mampu mengontrak, sehingga hanya bisa tinggal bersamanya. Ia berbagi ruang sempit sampai tidur dalam posisi duduk dan meringkuk.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(dhw/das)