Saat ini, ada 730 ribu orang di 34 provinsi yang telah menerima manfaat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut Badan Gizi Nasional (BGN), cakupan penerimanya saat ini masih 0,8% dari target nasional yang mencapai 82,9 juta penerima tahun ini.
Soal program prioritas Prabowo-Gibran ini, Guru Besar Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Antun Mardiyanta Drs MA menilai keragaman kondisi geografis, sosial, serta ekonomi di Indonesia merupakan tantangan tersendiri dalam pelaksanaan MBG.
Menurutnya strategi implementasi MBG tidak bisa seragam untuk seluruh wilayah Indonesia. Sebab, kondisi wilayah Indonesia sangat beragam.
Maka dari itu, strategi implementasi MBG menurut Prof Antun sebaiknya adaptif terhadap kondisi lokal yang berbeda-beda. Meski begitu, standar gizi dan teknis lainnya tetap harus dipastikan terjaga sekaligus terkontrol dengan baik.
"Setelah desain implementasi kebijakan dirancang seksama, dengan memperhatikan keragaman kondisi, secara periodik disempurnakan secara inkremental setelah ada evaluasi," jelas Prof Antun, dikutip dari laman Unair pada Selasa (4/2/2025).
Solusi buat Kantin Sekolah yang Terdampak
Guru besar yang pernah menempuh kuliah di UGM, UI, hingga UB itu menyebut tingkat partisipasi siswa mengalami peningkatan secara signifikan, tetapi di sisi lain kebijakan tersebut juga berdampak pada kantin-kantin sekolah. Ada banyak kantin sekolah yang merasa rugi dikarenakan program ini.
Prof Antun memiliki saran mengatasi hal ini. Ia mengatakan salah satu cara mengatasinya adalah mengikutsertakan dan memberdayakan pengelola kantin sebagai mitra penyedia program.
Ia mengatakan transparansi dan akuntabilitas rekrutmen mitra akan jadi pembelajaran yang sehat untuk semua. Pengawasan implementasi MBG juga harus berbasis risiko agar dapat menjamin semua hasil yang diharapkan sekaligus mencegah berbagai risiko, misalnya keracunan.
"Pemerintah bisa mendayagunakan seluruh aparat pengawasan yg relevan untuk menjamin program strategis ini efektif. Partisipasi masyarakat dan media juga sangat penting," sebut Prof Antun.
Dosen sekaligus ahli gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Mahmud Aditya Rifqi S Gz MSi PhD soroti biaya program makan bergizi gratis (MBG). Apa katanya?
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia mencanangkan biaya MBG sebesar Rp 10 ribu per porsi. Kebijakan ini kemudian menuai kontroversi di masyarakat.
Menurut Mahmud kebijakan ini pasti sudah melewati berbagai pertimbangan. Alih-alih menyalahkan, besaran biaya ini harus dilihat sebagai tantangan.
"Perubahan itu justru akan memberikan tantangan terutama pada ahli gizi untuk dapat memberikan menu yang memiliki nilai gizi baik dengan biaya yang terbatas," katanya dikutip dari rilis di laman Unair, Jumat (20/12/2024).
Bahan Pangan Lokal Bisa Jadi Solusi
Untuk menjawab tantangan ini, Mahmud memberikan saran agar pemerintah menggunakan bahan pangan lokal. Bahan pangan lokal menurutnya lebih terjangkau namun kandungan gizinya tidak kalah dengan bahan pangan konvensional.
Meski gratis, MBG harus menjadi makanan komplit yang bergizi seimbang. Sehingga diperlukan perhatian terhadap pembagian porsi, zat gizi, dan komposisi.
"Umumnya dalam satu piring yang paling mahal adalah protein. Hal ini dapat disiasati dengan menggunakan bahan pangan lokal contohnya seperti menggunakan protein dari ikan," jelasnya.
Banyak ikan air tawar lokal memiliki potensi menjadi sumber protein yang nilainya tidak kalah dengan ayam dan daging. Seperti ikan nila, gurami, dan lele.
"Nila, gurami dan lele menjadi opsi yang bagus dengan melimpahnya komoditas tersebut di masyarakat, sehingga memiliki harga yang terjangkau serta mudah didapatkan," imbuhnya.
Selanjutnya dari bahan nabati, Mahmud menyarankan penggunaan kacang-kacangan. Contohnya kacang hijau dan kacang merah beserta produk olahannya.
Mahmud menyatakan kini Indoensia sudah banyak mengembangkan kacang edamame hingga penggunaan kedelai lokal sebagai bahan dasar tempe dan tahu. Kedua kacang itu memiliki kandungan protein yang baik.
Pengembangan Bahan Pangan Lokal Masih Minim
Perbedaan yang mencolok antara bahan pangan konvensional dan lokal memang berada di nilai ekonomis. Sebagai ahli gizi, Mahmud justru memberikan perhatian pada perlakuan bahan selama proses pengolahan.
Bahan pangan lokal pada dasarnya mudah didapatkan. Sehingga tidak perlu diawetkan dan lebih aman untuk dikonsumsi.
"Semakin panjang prosesnya maka butuh banyak perlakukan dan pengawetan. Sedangkan pangan lokal yang ada di sekitar kita masih segar dan tidak perlu banyak perlakuan dan pengawetan sehingga dapat meminimalisir penggunaan pengawet dan penurunan zat gizi," ungkap Mahmud.
Sayangnya dalam hal pengembangan hingga saat ini masyarakat masih awam terkait bahan pangan lokal. Untuk itu diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan akademisi dalam meningkatkan penggunaan bahan pangan lokal.
Mengingat ini juga bisa digunakan dalam program makan bergizi gratis. Tetapi bergizi walaupun dananya terjangkau.
Diperlukan promosi masif untuk dapat menjangkau berbagai kalangan masyarakat. Dari sisinya sebagai akademisi, Mahmud menilai diperlukan proses penyampaian hasil penelitian kepada masyarakat.
"Kelanjutan dari paper, artikel dan jurnal ini perlu diperhatikan, tidak hanya menjadi tulisan belaka namun perlu direalisasikan untuk dapat menjadi suatu produk di masyarakat," tutupnya.
Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan anggaran makan bergizi gratis yang semula Rp 15.000 menjadi Rp 10.000. Pemangkasan tersebut merupakan imbas dari keterbatasan anggaran pemerintah.
Menurutnya, Rp 10.000 sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan gizi makan bergizi gratis per porsinya. Pemangkasan tersebut kemudian menuai pro dan kontra, termasuk dari kalangan pakar.
Pakar Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair) Prof Dr H Jusuf Irianto Drs MCom menyatakan pemangkasan anggaran makan bergizi gratis merupakan keputusan yang rasional dari sisi pemerintah. Namun, keputusan tersebut juga membutuhkan pertimbangan dari sisi rakyat.
"Keputusan untuk mengurangi anggaran makan bergizi gratis merupakan keputusan yang rasional bagi pemerintah mengingat keterbatasan anggaran. Bagi rakyat sebaliknya. Yang penting sekarang bagaimana dengan anggaran yang terbatas, pemerintah dapat menyediakan MBG yang layak dan bergizi," ujar Prof. Jusuf dalam laman Unair dikutip Selasa (17/12/2024).
Pentingnya Komunikasi Kebijakan
Dosen Ilmu Administrasi Negara itu mengatakan komunikasi kebijakan menjadi aspek krusial yang perlu pemerintah perhatikan. Ia mengingatkan agar para pejabat berhati-hati dalam menyampaikan janji atau pernyataan kepada publik.
"Omongan pejabat pada dasarnya itu kebijakan yang sifatnya tidak tertulis. Omongannya menjadi pegangan rakyat. Jika tidak terealisasi bisa menimbulkan kekecewaan. Jadi, pemerintah harus belajar bagaimana berkomunikasi yang baik dengan rakyatnya," jelasnya.
Ia mencontohkan kasus kenaikan gaji guru yang tidak terealisasikan. Hal serupa, menurutnya, berpotensi terjadi pada program makan bergizi gratis jika pemerintah tidak memastikan implementasinya dengan baik.
"Program ini merupakan program andalan PresidenPrabowo untuk peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Khususnya dalam mengatasi masalah stunting. Oleh karena itu, pemerintah harus sungguh-sungguh dalam pelaksanaannya,"ungkapnya.
Amanah Janji Kampanye
Sebagai salah satu janji kampanye Presiden Prabowo, Prof Jusuf mendorong pemerintah memastikan realisasi program MBG sesuai dengan harapan rakyat.
"Jika janji kampanye adalah memberikan makan siang gratis, maka itu harus dipenuhi tanpa mengurangi kualitasnya," tegasnya.
Lebih jauh, Jusuf mengingatkan pentingnya empati dalam menjalankan program ini. Menurutnya, pemimpin sebaiknya makan setelah rakyatnya makan.
"Pemimpin itu baru makan setelah rakyatnya makan. Itu harus direnungkan oleh pemimpin kita bersama. Kalau seperti itu pemerintah tidak akan asal merealisasikan program MBG ini. Pemerintah harus menunjukkan kesungguhan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia melalui program ini," pungkasnya.