
Kala Lahan Sawah Makin Menyusut dan Beralih Jadi Hutan Beton Perumahan
Lahan sawah seluas 100.000 hektare hingga 150.000 hektare beralih fungsi menjadi perumahan setiap tahun [1,229] url asal
#alih-fungsi-sawah #alih-fungsi-lahan #perumahan #sawah #program-3-juta-rumah #program-3-juta-hektare-sawah #swasembada-pangan #lsd
(Bisnis.Com) 30/04/25 11:00
v/48783/

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah berupaya mengendalikan alih fungsi lahan sawah di tengah lahan yang makin terbatas. Pasalnya, banyaknya lahan sawah yang susut dan beralih fungsi menjadi lahan perumahan.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen padi di 2024 diproyeksikan mencapai 10,04 juta hektare. Angka ini mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 10,2 juta.
Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan mengatakan penyusutan lahan sawah yang mencapai puluhan ribu hektare dalam beberapa tahun terakhir.
"Penyusutan lahan sawah yang mencapai 79.607 hektare dalam lima tahun terakhir adalah ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional," ujarnya dikutip Rabu (30/4/2025).
Pemerintah akan merevisi Perpres Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, dengan beberapa fokus utama. Pemerintah akan memperkuat koordinasi antara pusat dan daerah untuk memastikan implementasi kebijakan yang lebih efektif dan selaras dengan kebutuhan nasional.
Kemudian, pemerintah akan melakukan pemantauan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan di lapangan untuk 8 provinsi yang telah ditetapkan sebagai lahan sawah yang dilindungi (LSD). Adapun usulan LSD 12 provinsi yang telah dibahas dan dikaji kementerian, badan, dan lembaga terkait pada 2024 akan segera ditetapkan sebagai kebijakan untuk mempercepat pencapaian swasembada pangan tahun 2027.
Selain itu, pemerintah juga akan menyelaraskan kebijakan LSD dan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) agar lebih efektif dalam mengendalikan alih fungsi lahan. Untuk mendorong partisipasi aktif dari petani dan pemilik lahan, pemerintah akan menyediakan insentif bagi mereka guna mengurangi laju perubahan alih fungsi lahan pertanian.
Pemerintah daerah juga akan diberikan insentif melalui skema dana alokasi khusus (DAK) berdasarkan pencapaian target produksi pangan dan perlindungan lahan sawah. Pemerintah juga akan meningkatkan pengawasan terhadap usulan perubahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang diajukan oleh Pemerintah Daerah khususnya pada perubahan fungsi lahan sawah yang dilindungi.
Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap perubahan mengacu pada LSD yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
"Perhatian juga untuk para pemerintah daerah betul-betul diminta kerjasamanya agar tidak merubah atau mengalihfungsikan sawah-sawah menjadi penggunaan lain," kata Zulkifli.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menuturkan lahan sawah seluas 100.000 hektare hingga 150.000 hektare beralih fungsi menjadi perumahan setiap tahun
Menurutnya, terdapat 73.432 hektare lahan indikasi tanah terlantar yang bisa digunakan untuk perumahan. Hal ini tentu bisa membantu realisasi program 3 juta rumah.
"Saya akan menyampaikan peta tanah yang telah kami tetapkan menjadi tanah terlantar yang bisa dipakai untuk menunjang program perumahan," ucapnya.
Menurutnya, apabila ingin mendukung program 3 juta rumah, maka pemerintah perlu menyediakan lahan dengan harga yang murah. Lahan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah lahan pertanian. Namun, negara menentang keras penggunaan lahan pertanian seperti sawah untuk dipakai sebagai perumahan. Sebab, pemakaian lahan sawah menjadi perumahan atau fungsi lain berseberangan dengan tujuan pemerintah yang tengah mengusahakan
Kementerian ATR/BPN membuat rumusan untuk melindungi lahan persawahan tersebut agar tidak cepat menyusut imbas permintaan perumahan yang semakin tinggi. Pihaknya memiliki peta data lahan baku sawah (LBS) yakni lahan baru, sama dengan lahan eksisting yang sudah terpetakan dari awal yakni sekitar 8,5 juta hektare. LBS ini merupakan data yang belum terupdate dengan kondisi di lapangan.
Pihaknya tak menampik banyak lahan sawah telah beralih fungsi menjadi tempat berdirinya bangunan, jalan, dan lainnya. Tanah-tanah yang sudah berubah fungsi tersebut akan masuk dalam data yang mereka sebut sebagai LSD.
"Hasil verifikasi ulang secara fisik menunjukkan adanya perubahan, LSD menyisakan sekitar 92% hingga 93% dari LBS, jadi sekitar 7% sudah hilang," tuturnya.
Di sisi lain, terdapat LP2B yakni sawah yang sudah direkomendasikan oleh Bupati sebagai lahan pertanian permanen, atau akan menjadi lokasi persawahan selamanya. Dari pemetaan, terdapat nilai LBS sebesar 100% lahan untuk sawah yakni 8,5 juta. Lalu jumlah LSD sudah berkurang karena adanya peralihan fungsi menjadi 93%.
"Nilai sawah yang harus dipertahankan atau LP2B adalah 87% dari LSD. Maka, dari itu, selisih antara LSD dengan LP2B adalah 13 persen yang bisa digunakan sebagai lahan kosong yang bisa dimanfaatkan tetapi tidak bisa digunakan semua untuk perumahan. Untuk perumahan yang bisa kita pakai ada sekitar 73.432 hektare," terangnya.
Dia menegaskan lahan sawah tidak boleh dipakai untuk perumahan termasuk lahan yang termasuk LSD. Jika terlanjur membeli lahan sawah, maka pengembang harus menggantinya dengan lahan yang produktivitasnya sama.
"Ya kalau dia LSD nggak bisa dibangun rumah, kalau dia udah kadung beli ya beli untuk tanamin jagung atau tanamin padi. Enggak boleh tanamin batu bata, apalagi kalau sudah LP2B. Dia harus mengganti lahan dengan produktivitas yang sama," ujar Nusron.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait menegaskan lahan persawahan tidak boleh dialihfungsikan menjadi area perumahan. Hal ini supaya masih ada lahan yang bisa dimanfaatkan untuk ketahanan pangan.
"Kita memang mau membangun rumah buat rakyat tapi kita juga mau ketahanan pangan, kita mau swasmbada pangan. Jadi betul tidak boleh Pak persawahan dibuat perumahan," katanya.
Pihaknya tak menampik kebutuhan perumahan, yang terus meningkat, terutama di kota-kota besar, yang lahannya semakin terbatas. Namun, masalah itu tidak boleh diselesaikan dengan mengorbankan produksi pangan.
"Tantangan kita memang berat, jangan nanti kita menyelesaikan masalah perumahan dengan cara sawah dijadikan rumah, nanti soal pangan menjadi masalah karena lahan sawah dijadikan rumah sehingga produksi pangan turun," ucap Maruarar.
Ketersediaan lahan menjadi faktor penting bagi pembangunan perumahan rakyat, Kementerian PKP akan berupaya mencarikan lahan yang baik dan bisa juga cukup strategis tetapi bukan lahan persawahan.
Adapun para pengembang mengeluhkan soal lahan perumahan yang semakin terbatas di Jawa Barat dikarenakan lahan persawahan yang tidak boleh digunakan untuk pembangunan perumahan.
KEPASTIAN LAHAN
Terpisah, Direktur PT Bangun Famili Sejahtera Hari Purnomo menuturkan aturan mengenai lahan persawahan tak boleh digunakan sebagai area perumahan sangat memberatkan dan menghambat pengembang.
Pihaknya telah membebaskan lahan yang berada di Bekasi, Jawa Barat untuk dibangun perumahan karena berada di zona kuning, yaitu area yang diperuntukkan permukiman. Namun, sebagian besar lahan itu merupakan area persawahan yang kini tak boleh lagi dialihfungsikan sebagai perumahan.
Dia berharap pemerintah memberikan kepastian lahan untuk program 3 juta rumah termasuk rumah bersubsidi.
"Nah, sekarang kendalanya tidak mungkin kita sebagai pengembang membebaskan tanah darat di daerah Bekasi. Satu, tidak ada lagi yang luas dan zonanya yang kuning sudah habis sedangkan kita sudah membebaskan sebagian besar lahan sawah yang zonanya kuning," tuturnya kepada Bisnis.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah menuturkan pada prinsipnya, pengembang properti setuju membangun rumah di atas lahan sesuai dengan peruntukan bukan di lahan produktif seperti sawah.
Namun demikian, salah satu kendala di industri properti khususnya segmen rumah subsidi terkait aturan LSD. Hal ini karena aturan LSD membuat investasi pengembang terkait lahan menjadi tidak jelas karena ada beberapa pengembang yang sudah mendapatkan izin ternyata terganjal aturan ini.
Wakil Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Bambang Eka Jaya mngatakan untuk area sawah yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sepanjang perutukan sawah memang harus dipertahankan. Terlebih dengan target swasembada pangan.
Menurutnya, yang terpenting konsistensi RTRWnya harus sesuai aturan dan tidak berubah-ubah serta revisi harus per periodik.
"Pemerintah harus memberikan kepastian lahan untuk pengembang agar tidak menggunakan lahan sawah," ujarnya kepada Bisnis.
CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menuturkan lahan bekas sawah seharusnya tidak dialih fungsikan menjadi lokasi pembangunan rumah. Hal ini dikarenakan kondisi tanah yang tidak solid dan kualitas air yang tak bagus.
"Tanah sawah memang nggak bagus. Secara fisiknya tanah sawah nggak bagus. Air tanahnya nggak bagus. Lalu juga kekuatan tanahnya juga perlu dipadetinnya juga banyak. Karena lama-lama turun-turun," ucapnya kepada Bisnis.
Namun, Ali memahami alasan mengapa tanah bekas sawah tetap diminati adalah karena kebutuhan lahan yang meningkat dan harganya yang lebih terjangkau.

Pengembang Terlanjur Beli Lahan Sawah buat Perumahan, Harus Apa?
Pemerintah larang alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan untuk menjaga ketahanan pangan. [525] url asal
#lahan-sawah #alih-fungsi-lahan #perumahan #ketahanan-pangan #pengembang-properti #komisi-ii-dpr-ri #nusron-wahid #zona #larang #tasyakuran #lahan-pertanian-pangan-berkelanjutan #bekasi #bpn #hari-purnomo #tata #seja
(detikFinance) 21/04/25 17:45
v/46140/

Pemerintah melarang alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan maupun industri. Hal ini dilakukan untuk menjaga ketahanan pangan.
Terkadang, lahan pertanian memang kerap dibeli untuk kemudian dijadikan perumahan. Hal itu karena biasanya lahan pertanian harganya lebih murah dibandingkan lahan yang memang untuk permukiman.
Namun, bagaimana nasib pengembang yang sudah terlanjur membeli lahan pertanian untuk dibangun perumahan?
Menanggapi hal tersebut, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan bahwa lahan sawah tidak boleh dipakai untuk perumahan, apalagi lahan yang termasuk Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Jika terlanjur membeli lahan sawah, pengembang harus menggantinya dengan lahan yang produktivitasnya sama.
"Ya kalau dia LSD nggak bisa dibangun rumah, kalau dia udah kadung beli ya beli untuk tanamin jagung atau tanamin padi. Enggak boleh tanamin batu bata, apalagi kalau sudah LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Dia harus mengganti lahan dengan produktivitas yang sama," kata Nusron kepada wartawan usai rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI, Senin (21/4/2025).
Sebelumnya, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait (Ara) menegaskan bahwa lahan persawahan tidak boleh dialihfungsikan menjadi area perumahan. Hal ini supaya masih ada lahan yang bisa dimanfaatkan untuk ketahanan pangan.
Pernyataan tersebut disampaikan ketika ia berbincang dengan salah satu pengembang dalam acara Tasyakuran BP Tapera di Menara Mandiri I, Jakarta Pusat, Kamis (17/4/2025). Saat itu, Direktur PT Bangun Famili Sejahtera, Hari Purnomo, mengungkapkan keluh kesahnya dalam membangun rumah subsidi, salah satunya terkait aturan mengenai lahan persawahan tak boleh digunakan sebagai area perumahan.
Hari menuturkan, pihaknya telah membebaskan lahan yang berada di Bekasi, Jawa Barat untuk dibangun perumahan karena berada di zona kuning, yaitu area yang diperuntukkan permukiman. Namun, sebagian besar lahan itu merupakan area persawahan yang kini tak boleh lagi dialihfungsikan sebagai perumahan.
"Nah, sekarang kendalanya tidak mungkin kita sebagai pengembang membebaskan tanah darat di daerah Bekasi. Satu, tidak ada lagi yang luas dan zonanya yang kuning sudah habis sedangkan kita sudah membebaskan sebagian besar lahan sawah yang zonanya kuning," kata Hari dalam acara tersebut.
Ara pun langsung merespons keluhan Hari. Ia menegaskan bahwa lahan sawah tidak boleh digunakan untuk area perumahan.
"Kita memang mau membangun rumah buat rakyat tapi kita juga mau ketahanan pangan, kita mau swasmbada pangan. Jadi betul tidak boleh Pak persawahan dibuat perumahan," ungkapnya.
(abr/zlf)

32 Situ di Bekasi-Bogor Hilang, Sebagian Jadi Perumahan
Pemerintah mendalami hilangnya 32 situ di Bekasi-Bogor, sebagian telah menjadi perumahan. Menteri PU menjelaskan kondisi dan penyebabnya. [376] url asal
#situ-hilang #bekasi #bogor #perumahan #dody-hanggodo #atr-bpn #alih-fungsi-lahan #google-maps #hilang #kawasan-kali-bekasi #gubernur #dedk-mulyadi #penyebab #eksisting #kawasan-dki-jakarta #pemerintah #andra-soni-ban
(detikFinance) 21/03/25 14:00
v/40772/

Pemerintah masih melakukan pendalaman terhadap kasus 32 situ di kawasan Bekasi dan Bogor, Jawa Barat, yang menghilang. Sebagian di antaranya kini sudah berubah menjadi perumahan.
Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengatakan, saat ini kondisi 32 situ tersebut cukup beragam. Beberapa di antaranya ada yang berubah menjadi perumahan.
"Sebagian perumahan, sebagian jadi apa yang lain. Karena sedimentasi juga jadi tidak semuanya perumahan," kata Dody, ditemui di Kantor Kementerian PU, Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Dody menjelaskan, pada mulanya kondisi 32 situ yang lenyap ini ditemukan dari hasil komparasi data Google Maps. Pihaknya membandingkan kondisi dari Google Maps beberapa tahun lalu dengan yang eksisting.
Hingga saat ini, kondisi menghilangnya situ di kawasan DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten masih dalam pembahasan bersama dengan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dan pemerintah daerah (Pemda) terkait.
"Itu kan sesuatu yang lagi kita bahas terus-terusan sama Menteri ATR, sama gubernur, kemarin kan sama Gubernur DKI Jakarta (Pramono Anung), Gubernur Jawa Barat (Dedk Mulyadi), sekarang sama Gubernur Banten Andra Soni banten hari ini," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid juga sempat menyinggung tentang hilangnya 32 situ tersebut. Data itu dibahas bersama saat Rapat Koordinasi (Rakor) tanah dan pengendalian banjir beberapa waktu lalu.
"Kemarin sudah ada 32 situ di kawasan Jawa Barat, Wetan Jakarta ini, Timur Jakarta Yang hilang," kata Nusron, dalam media gathering di Kantor ATR/BPN, Jakarta Selatan, Rabu (19/3/2025).
Nusron mengaku belum mengetahui secara detail penyebab dari hilangnya situ-situ tersebut karena belum melakukan pengecekan satu per satu. Dalam waktu dekat, ia akan kembali melangsungkan rapat bersama Gubernur Banten dalam rangka pengecekan.
"Hari Jumat nanti saya rapat dengan Gubernur Banten (Andra Soni), saya mau hitung lagi yang Banten ada berapa, baru kita lihat detailnya satu per satu," ujar dia.
"Ya kan lokasinya, karena situnya udah nggak ada, kita nggak tahu dulunya di mana. Saya kan baru juga di sini. Nanti akan saya tanya ini dulu di mana sih letak situnya, sekarang jadi apa. Nanti akan saya pelajari satu per satu," sambungnya.
Ia juga belum dapat memastikan bagaimana alih fungsi lahan di kawasan tersebut sehingga situ-situ tersebut bisa menghilang. Sebab dalam rapat kemarin, pihaknya berfokus pada persoalan sungai dan sempadan sungai di kawasan Kali Bekasi.
(shc/rrd)
Langkah Tegas Pemerintah Segel Kawasan Perumahan dan Wisata di Sepanjang DAS Buntut Banjir
Luas tutupan vegetasi di DAS Bekasi hanya mencapai 3,35% dari total luasan DAS seiring dengan pertambahan area pertanian dan pemukiman di wilayah tersebut. [1,941] url asal
#alih-fungsi-lahan #puncak-bogor #tata-ruang #banjir-jabodetabek #banjir-2025
(Bisnis.Com) 19/03/25 11:00
v/40148/

Bisnis.com, JAKARTA — Dalam sepekan terakhir, usai banjir besar yang terjadi pada 4 Maret 2025 lalu, Pemerintah gencar melakukan sidak, penyegelan, dan pembongkaran bangunan dan kawasan wisata yang dianggap penyebab banjir. Banjir besar Jabodetabek pada awal Maret 2025 juga menjadi alarm keras daya tampung daerah aliran sungai (DAS) semakin menurun.
Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan tak segan mengenakan sanksi pidana kepada perusahaan baik pemilik properti dan tempat wisata di kawasan Puncak dan Bogor yang terbukti merusak lingkungan sehingga menjadi penyebab banjir. Pasalnya, banjir menjadi peringatan keras daya tampung DAS semakin menurun terutama di hulu sungai Ciliwung dan Kali Bekasi.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, luas tutupan vegetasi di DAS Bekasi hanya mencapai 3,35% dari total luasan DAS seiring dengan pertambahan area pertanian dan pemukiman di wilayah tersebut.
Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup Sigit Reliantoro mengatakan terdapat penambahan luasan kawasan pemukiman dan pertanian di segmen 1 Das Bekasi di wilayah yang sebelumnya berperan memberikan perlindungan kepada wilayah tersebut salah satunya sebagai resapan air.
“Kalau dilihat DAS Kali Bekasi di segmen 1 di hulunya jauh lebih kecil tutupan lahannya. Jadi kalau dihitung hanya 3,35% dari DAS Kali Bekasi,” ujarnya dikutip Rabu (19/3/2025).
Adapun kriteria tutupan vegetasi harus mencapai minimal 30% dari luas DAS untuk memberikan perlindungan kepada wilayah sekitar termasuk untuk daerah resapan air di kawasan hulu yang berperan dalam tata kelola air yang kemudian mengalir ke hilir atau wilayah lebih rendah.
Jika hanya melihat segmen 1 atau bagian hulu, maka luas tutupan vegetasinya hanya mencapai 21,24% dari total luas hulu DAS Bekasi. Padahal, DAS Bekasi memiliki luas sekitar 145.000 hektare dengan segmen Puncak mencakup 28.000 hektare di mana 12.500 hektare seharusnya berfungsi sebagai kawasan perlindungan ekosistem dan pengendalian bencana.
Merujuk data KLH, telah terjadi peningkatan luasan lahan terbangun/terbuka meningkat dari 6.711,32 hektare pada 2013 menjadi 7.629,79 hektare pada 2023. Dalam periode 2013 hingga 2023, terjadi sedikit peningkatan vegetasi hutan dari 3.198,72 hektare pada 2013 menjadi 4.895,01 hektare pada 2023 yang kemungkinan hasil dari rehabilitasi lahan di sekitar kawasan gunung kapur di Cileungsi.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hulu DAS Bekasi, kawasan pemukiman meningkat dari 5.519,73 hektare pada 2010 menjadi 9.752,90 hektare pada 2022. Kawasan pertanian sendiri tercatat mencapai 5.817,05 hektare pada 2022, yang tidak tertera pada RTRW 2010.
Menurutnya, kehilangan tutupan lahan di area yang seharusnya menjadi kawasan lindung dengan tutupan hutan tersebut juga berpengaruh terhadap banjir di hilir, termasuk yang terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya baru-baru ini.
“Ini menunjukkan Kali Bekasi dan Cikarang itu banjir, ya barangkali masuk logika karena yang melindungi hanya 3,35% tutupan vegetasi di sana,” katanya.
Dia menyoroti perubahan signifikan kawasan lindung daerah tangkapan air berubah menjadi kawasan permukiman dimana membuat terjadinya banjir di Cisarua pada 3 Maret lalu.
“Banjir itu tidak hanya di dataran rendah saja, juga sudah terjadi di daerah Ciliwung, di hulunya. Artinya ada permasalahan mendasar, dulu ada 8.000 hektare kawasan lindung yang hijau, lalu sekarang dikonversi menjadi kawasan pertanian dan pemukiman,” ucap Sigit.
Deputi Bidang Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Rizal Irawan menutukan pihaknya telah melakukan pengawasan terhadap sejumlah perusahaan di kawasan hulu DAS yang diduga berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.
Pihaknya akan menerapkan pendekatan multidoor enforcement bagi perusahaan yang terbukti melanggar regulasi lingkungan hidup. Adapun multidoor enforcement merupakan penindakan yang mencakup sanksi administratif, pidana, dan perdata.
Kementerian Lingkungan Hidup akan mengeluarkan paksaan pemerintah kepada sejumlah korporasi yang berada di hulu DAS Ciliwung, termasuk diantaranya meminta melakukan pembongkaran secara mandiri. Namun jika tidak dilakukan dalam batas waktu tertentu makan pemerintah akan membongkar.
“Kami telah menugaskan pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil untuk menyelidiki penyebab kerusakan lahan di hulu Sungai Ciliwung dan Kali Bekasi,” tuturnya.
Hasil dari penyelidikan dan pengawasan, pihaknya telah memberikan sanksi administratif terhadap delapan perusahaan yang berdiri di hulu DAS Ciliwung. Perusahan tersebut merupakan unit Kerja Sama Operasi (KSO) dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2-Unit Agrowisata Gunung Mas.
“Saat ini kami menggunakan sistem multidoors, yaitu sanksi administrasi, sengketa lingkungan hidup, perdata, dan juga pidana,” ujarnya.
Menurutnya, ada sejumlah dugaan pelanggaran lingkungan yang dilakukan PTPN yakni pengelola mengabaikan peringatan dari pemerintah daerah untuk menghentikan pembangunan.
“Karena ada pengabaian dari PTPN akhirnya mulailah pembangunan. Ada 33 kerja sama operasional (KSO) di dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara I dan beberapa yang sudah melakukan pembangunan secara masif yang berpengaruh pada lingkungan di area Puncak,” kata Rizal.
Lalu pelanggaran lainnya PTPN memperlebar area wisata yang semula 16 hektare menjadi 39 hektare. Kemudian, menambah kegiatan agrowisata yang sebelumnya sembilan menjadi 13 jenis kegiatan. Dugaan pelanggaran selanjutnya, PTPN tidak melakukan pemantauan erosi tanah, pemantauan badan air, dan tidak mencantumkan laporan pengelolaan dan pemantauan lingkungan setiap enam bulan.
“Jika terbukti ada pelanggaran serius, kami akan merekomendasikan pembongkaran fasilitas dan pemulihan lahan terdampak,” ucapnya.
Adapun terdapat 8 perusahaan di hulu DAS Ciliwung termasuk PT Jaswita Lestari Jaya, PT Eigerindo Multi Produk Industri, PT Bobobox Aset Manajemen, PT Karunia Puncak Wisata, PT Farm Nature and Rainbow, PT Pinus Foresta Indonesia, CV Mega Karya Anugrah, PT Jelajah Handal Lintasan, dan PT Perkebunan Nusantara I dan PT Sumber Sari Bumi Pakuan dikenakan sanksi administratif paksaan pemerintah.
“Perusahaan yang kena sanksi administratif wajib pembongkaran mandiri dan pemulihan lingkungan,” tuturnya.
Selain itu, terdapat perusahaan di Sentul yang merupakan kawasan hulu DAS Bekasi yaitu PT Sentul City Tbk, Rainbow Hill Golf Club yang dikelola PT Light Instrumenindo, Golf Gunung Geulis yang dikelola PT Mulia Colliman International, Perumahan Citra City Sentul, dan Perumahan Summarecon Bogor yang dikelola PT Kencana Jayaproperti Mulia, PT Kencana Jayaproperti Agung, dan PT Gunung Srimala Permai akan menghadapi penegakan hukum pidana dan gugatan atas kerugian lingkungan hidup.
“Kami juga telah memasang plang pengawasan. Kami akan meminta bantuan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor dan juga DLH Provinsi Jawa Barat untuk sama-sama melakukan pengawasan terhadap beberapa area yang sudah kita pasang plang pengawasan kemarin. Tentunya ada kolaborasi antara kementerian dengan pemerintah daerah, baik itu provinsi maupun juga kabupaten,” terang Rizal.
Sementara itu, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup Dodi Kurniawan menambahkan pihaknya telah mengidentifikasi pencemaran maupun perusakan lingkungan di Hibics Fantasy Puncak milik PT Jaswita dan Eiger Adventure Land dari penurunan tim verifikasi lapangan. Investigasi yang melibatkan para ahli dari berbagai bidang mengungkapkan pembangunan fasilitas wisata di area ini berkontribusi pada kerusakan lingkungan.
“Kasus mencolok itu perubahan tutupan lahan di Hibics Fantasy Puncak yang dikelola oleh PT Jaswita Lestari Jaya. Awalnya merupakan perkebunan teh, lahan ini kini berubah menjadi bangunan permanen yang mengurangi daya resapan air dan meningkatkan debit runoff saat hujan. Dampaknya nyata bencana banjir dan longsor yang terjadi di Cisarua pada 3 Maret 2025 terbukti berasal dari aliran air yang tidak tertahan akibat perubahan tutupan lahan tersebut,” ujarnya.
Pemerintah berkomitmen untuk menegakkan aturan dan memulihkan kembali hulu DAS sebagai langkah pencegahan bencana di masa depan.
“Multidoor enforcement akan terus diterapkan agar para pelaku usaha lebih bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Masyarakat diharapkan turut serta dalam upaya pemulihan dengan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar dan melaporkan potensi pelanggaran yang dapat merusak ekosistem,” kata Dodi.
ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DAN DAS
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) tidak boleh diubah menjadi perumahan dan permukiman. Saat ini, total luas Lahan Baku Sawah (LBS) di Indonesia adalah 7,3 juta hektare dimana sebesar 87% dari total LBS harus menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Saat ini terdapat delapan provinsi yang telah ditetapkan menjadi daerah masuk dalam kawasan LSD. Delapan provinsi tersebutSumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Berdasarkan data dari delapan provinsi yang masuk LSD, antara 2019 hingga 2021 alih fungsi lahan sawah mencapai 136.000 hektare. Namun angka itu turun menjadi 5.600 hektare selama periode 2021 sampai 15 Februari 2025.
“Setelah ada LSD ternyata efektif, dari 2021 sampai 15 Februari 2025, lahan yang berubah fungsi hanya 5.600 hektare, sangat signifikan,” ucapnya.
Menurutnya, dengan adanya kebijakan LSD, alih fungsi lahan sawah dapat dikendalikan secara signifikan, mengurangi konversi lahan untuk pemukiman dan industri yang mengancam ketahanan pangan.
“Ada alih fungsi karena memang lahan tersebut belum ditetapkan menjadi LP2B (Lahan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan),” tuturnya.
Nusron juga menegaskan tanah yang berada di badan dan sepadan sungai harus diterbitkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama negara. Hal itu terkait dengan peraturan pemerintah yang mengharuskan tanah yang bukan hutan untuk disertifikatkan baik itu tanah negara maupun tanah yang dikuasai masyarakat.
Tanah di sepanjang sungai termasuk di atas tanggul harus memiliki status hukum yang jelas dengan sertifikat atas nama negara.
Kepastian hukum ini sangat penting mengingat banyak tanah di atas tanggul yang sebelumnya tidak disertifikasi. Sebagian tanah tersebut telah diduduki oleh pihak-pihak tertentu yang kemudian mengurus surat tanah melalui berbagai pihak, termasuk lurah dan instansi lainnya.
“Otoritas atas tanah di badan sungai dan sepadan sungai berbeda-beda tergantung pada pengelolaan sungai tersebut. Jika sungai tersebut dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum, maka Badan Pengelola Wilayah Sungai (BPWS) yang bertanggung jawab. Lalu jika kewenangan Pemerintah Provinsi, maka pengelolaan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Provinsi,” terangnya.
Menurutnya, penataan tanah di badan sungai dan sepadan sungai merupakan langkah penting untuk mencegah bencana banjir dan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya air. Terlebih, di DAS Kali Bekasi terdapat 124 tanah bersertifikat.
Terpisah, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengatakan pihaknya menjamin tidak ada anggota Apersi yang menggunakan lahan sawah untuk perumahan. Pasalnya, sebelum membangun rumah terdapat prosedur yang dilalui.
“Jika perizinan diperbolehkan dan sesuai aturan yang ada, pengembang pasti mengikuti aturan, dan tidak saling menyalahkan. Pengembang pada prinsip izin yang diterbitkan oleh Pemda, kalau pemda yang melarang maka pengembang enggak akan bangun,” ujarnya.
Menurutnya, banjir besar yang terjadi pada pekan lalu bukan salah pengembang. Dia menilai perlu dilakukan evaluasi menyeluruh perizinan dan bukan hanya perumahan saja.
“Perumahan masyarakat umum banyak tenggelam. Banjir kemarin kan seperti bencana dan tidak saling menyalahkan. Evaluasi juga dilakukan ke perumahan masyarakat umum yang dibangun swadaya,” katanya.
Dia mengusulkan agar evaluasi menyeluruh dilakukan pada pembangunan perumahan yang akan datang bukan pada perumahan yang sudah ada saat ini. Pasalnya, perumahan saat ini yang terkena banjir sudah terbangun dan dihuni.
“Pengembang enggak akan bangun kalau tidak sesuai dengan peruntukan lahan dan perizinan. Kalau peruntukkannya sawah kami tidak akan bangun. Kalau peruntukannya boleh dibangun permukiman tidak salah pengembangnya. Ini evaluasi menyeluruh dilakukan untuk semua perumahan baru ke depannya,” ucap Junaidi.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (REI) Bambang Eka Jaya mengatakan proses pembangunan satu wilayah bukan hanya oleh developer saja. Pengembangan perumahan harus sesuai dengan perencanaan dan tata ruang dan berlaku.
“Kami membangun sesuai dengan konsep tata ruang yang ada dan peraturan terkait, serta semua perizinan yang dikeluarkan oleh Pemda,” tuturnya.
Pihaknya menampik pengembang menggunakan lahan bekas sawah dan rawa untuk dijadikan kawasan perumahan. Menurutnya, yang perlu diperhatikan oleh masyarakat tidak semua akibat yang timbul seperti banjir besar yang baru terjadi langsung menunjuk developer sebagai biang kerok.
“Memang koordinasi harus disinergikan oleh Pemda karena saat mulai proyek pun peil banjir (ketinggian muka tanah yang secara hidrologi paling aman dari resiko banjir) sudah ditetapkan oleh pemda dalam proses PBG (perizinan bangunan gedung) di samping dengan amdal lalin, amdal lingkungan untuk proyek yang skala besar,” katanya.
Dia menegaskan tidak ada satu developer yang mau proyek propertinya kebanjiran karena akan menghancurkan nilai proyek tersebut dan juga reputasi developer ke depan.
“Yang perlu dilakukan tentu pengawasan dalam pelaksanaannya agar sesuai,” ucapnya.
Bambang menambahkan untuk developer besar yang menggunakan lahan bekas rawa akan dilakukan pengerukan dan diganti tanah merah. Lalu dibangun dengan fondasi minimal beton plat setempat dan bahkan menggunakan tiang pancang beton untuk menjaga kualitas bangunan.

2,7 Juta Ha Sawah Dilindungi demi Cegah Alih Fungsi Jadi Pabrik-Permukiman
Sebanyak 2,7 juta hektare (ha) sawah dilindungi guna mencegah alih fungsi lahan. [402] url asal
#lahan-sawah #alih-fungsi-lahan #sawah #zulkifli-hasan #kepulauan-bangka-belitung #provinsi-sumatera #jumlah-lahan-sawah #pengendalian-alih-fungsi-lahan-sawah #7-juta-ha-sawah #bali #jakarta-pusat #lahan-baku
(detikFinance) 18/03/25 13:27
v/39856/

Sebanyak 2,7 juta hektare (ha) sawah dilindungi guna mencegah alih fungsi lahan. Sebelumnya, jumlah lahan sawah yang dilindungi hanya di 8 provinsi, kini ditambah 12 provinsi dengan total 2,75 juta ha.
"Jadi, 12 provinsi itu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan beberapa daerah yang lumbung pangan," kata Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan atau Zulhas dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Pangan, Graha Mandiri, Jakarta Pusat, Selasa (18/3/2025).
Zulhas menerangkan, ketetapan ini akan masuk dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah.
"Nah, kalau revisi Perpres selesai, maka akan segera dibentuk tim terpadu, untuk menyelesaikan ada namanya lahan sawah yang dilindungi di 12 provinsi itu yang akan diperkuat menjadi LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan),"terang dia.
Secara rinci, jumlah Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) di Aceh 201.221 ha, Sumatera Utara 308.672 ha, Riau 58.891 ha, Jambi 68.243 ha, Sumatera Selatan 484.082 ha, Bengkulu 42.796 ha, Lampung 336.457 ha, Kepulauan Bangka Belitung 22.454 ha, Kepulauan Riau 872 ha, Kalimantan Barat 194.476 ha, Kalimantan Selatan 340.368 ha, dan Sulawesi Selatan 659.437 ha.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid mengatakan lahan sawah yang dilindungi ini mencegah agar lahan tidak dialihfungsikan menjadi berbagai macam bangunan, seperti untuk industri dan permukiman. Dia mencontohkan alih fungsi lahan sawah di 8 provinsi sebelumnya, saat perlindungan lahan sawah belum diberlakukan.
"Data dari 8 provinsi saja sebagai contoh, dari tahun 2019 sampai tahun 2021, sebelum ada LSD, karena LSD baru diperlakukan tahun 2021, alih fungsi lahan pertanian ke dalam pemukiman maupun ke dalam industri selama 2 tahun itu 136.000 hektare. Berarti 1 tahun rata-rata 66.000 ha," terangnya.
Nusron menegaskan, jika LSD dijadikan LP2B, maka tidak boleh dialihfungsikan untuk kepentingan apapun.
"87% total LBS lahan baku sawah atau total sawah harus ditetapkan menjadi LP2B. Kalau sudah menjadi LP2B, lahan tersebut tidak boleh diubah fungsi untuk kepentingan apapun selama-lamanya," pungkasnya.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan lahan sawah di 8 provinsi masuk kategori dilindungi. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteru ATR/BPN yang dimaksud Nomor : 1589/SK-HK.02.01/XII/2021 Tahun 2021 Tentang Penetapan Peta LSD pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
(ada/ara)
Kerap Diterjang Banjir, Pemkab Sumedang Bakal Audit Pengembang Perumahan
Pemanfaatan ruang pada kawasan rawan gerakan tanah wajib mengkaji geologi tata lingkungan dan/geologi teknik sebagai dasar dalam pelaksanaan pembangunan rumah. [471] url asal
#banjir #lingkungan #longsor #alih-fungsi-lahan #banjir #rth-perumahan
(Bisnis.Com) 17/03/25 23:30
v/39685/

Bisnis.com, BANDUNG — Pemerintah Kabupaten Sumedang akan melakukan audit lingkungan terkait ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perumahan. Hal tersebut dilakukan untuk penanganan banjir yang kerap terjadi di daerah hilir.
Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir mengatakan pihaknya akan memeriksa presentase 40% RTH yang wajib disediakan oleh pengembang.
Pasalnya, Sumedang menjadi kawasan favorit pengembang dalam membangun hunian untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Terlebih, kawasan barat Kabupaten Sumedang menjadi area penyangga dan masuk dalam cekungan Bandung.
“Untuk perumahan akan Audit lingkungan, memang masyarakat butuh rumah, tapi mohon pengembang harus diperhatikan 40% RTH nya, akan kami cek sehingga air harus tertampung di sana, run off nya tidak langsung turun ke bawah,” ujarnya, Senin (17/3/2025).
Selain itu, pihaknya juga akan melakukan reboisasi di kawasan hulu hingga sistem drainase juga akan diperbaiki.
Sejak memimpin Sumedang tahun 2018 hingga 2023, Dony memastikan tidak pernah mengeluarkan izin pembangunan perumahan di kawasan dengan kemiringan lahan di atas 9 derajat atau 20%.
Bahkan, pada 2021 mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Moratorium Izin Pembangunan Perumahan pada Kawasan Gerakan Tanah di Kabupaten Sumedang .
“Selama 5 tahun menjabat sampai saat ini, saya tidak pernah mengeluarkan izin pembangunan perumahan di lahan hijau dengan kemiringan di atas 9 derajat.Larangan pembangunan perumahan itu tertuang dalam Perbup No 22 Tahun 2021 tentang Moratorium Izin Pembangunan Perumahan pada Kawasan Gerakan Tanah di Kab Sumedang. Tidak mengizinkan di lahan dengan kemiringan 9 derajat atau 20%,” katanya.
Beleid tersebut sebagai upaya pemerintah daerah meminimalisir risiko bencana alam.
“Jadi pembangunan perumahan yang ada di kawasan perbukitan dengan kemiringan diatas 9 derajat izinnya keluar sebelum tahun 2018,” ucapnya.
Menurutnya, pemanfaatan ruang di Sumedang sebelum Tahun 2018 mengacu kepada Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumedang Tahun 2011-2031. Namun, mulai 29 November 2018 terbit dan diberlakukan Perda Nomor 4 Tahun 2018 tentang RTRW Kabupaten Sumedang Tahun 2018-2038.
“Pemanfaatan ruang pada kawasan rawan gerakan tanah wajib melakukan kajian geologi tata lingkungan dan/atau geologi teknik sebagai dasar dalam pelaksanaan pembangunan,” tuturnya.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sumedang Kemal Idris menyebutkan, jika ada pengajuan perumahan di kawasan kemiringan di atas 9 derajat, maka akan ditolak oleh Dinas PUTR yang mengeluarkan rekomendasi.
“Kalau ada yang mengajukan perizinan perumahan yang kemiringan lereng di atas 9 derajat maka rekomendasi Dinas PUTR tak akan turun. Siteplan tidak diterbitkan dan pengajuan izin tidak masuk ke akun DPMPTSP untuk izin persetujuan bangunan gedung (PBG). Siteplan dari Dinas PUTR itu sebagai persyaratan dasar,” katanya.
Menurutnya, kemiringan lereng di atas 9 derajat atau 20% berdasarkan hasil pengukuran lapangan oleh tenaga ahli.
“Bagi pengembang yang sudah mengantongi izin karena diterbitkan sebelum 2018 maka pembangunan konstruksi yang dilaksanakan setelah diterbitkannya Perda 4 Tahun 2018 dan Perbup 22 Tahun 2021 harus menyesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam regulasi baru. Jadi tidak boleh dibangun perumahan,” kata Kemal.

Kemenko Pangan dan KLH Segel Kawasan Perumahan dan Wisata di Bogor Langgar Aturan Lingkungan
Pemerintahan di era Presiden Prabowo Subianto ingin membenahi segala aspek untuk mewujudkan clear and clean government. [360] url asal
#banjir #alih-fungsi-lahan #segel #papan-peringatan
(Bisnis.Com) 13/03/25 18:34
v/38745/

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Koordinator Bidang Pangan dan Lingkungan Hidup memasang papan peringatan pengawasan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) di 3 lokasi kawasan Sentul-Ciawi Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang diduga melanggar aturan lingkungan.
Adapun lokasi tersebut berupa kawasan perumahan dan tempat wisata di kawasan Gunung Geulis antara lain Summarecon Bogor, Golf Gunung Geulis, dan Rainbow Hills Golf.
Selain tiga lokasi tersebut, juga akan dipasang papan peringatan di lokasi lainnya seperti PT Sentul City Tbk, Rainbow Hills Golf, PT Pinus Foresta Indonesia, PT Kurnia Puncak Wisata, CV Mega Karya Nugraha, PT Jelajah Handal Lintasan, dan PT Farm Nature & Rainbow Add.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan pemerintahan di era Presiden Prabowo Subianto ingin membenahi segala aspek untuk mewujudkan clear and clean government.
“Mulai perizinan, tata ruang, pengelolaan lingkungan, itu menjadi something (sesuatu),” ujarnya dilansir Antara, Kamis (13/3/2025).
Menurutnya, kawasan yang diberi papan peringatan tersebut menjadi fokus karena Gunung Geulis merupakan hulu Sungai Cikeas dan Puncak merupakan hulu Sungai Ciliwung. Langkah tersebut dilakukan untuk menegakkan hukum serta memastikan keberlanjutan ekosistem.
Kawasan Bogor memiliki peran strategis sebagai daerah resapan air dan penyangga ekosistem bagi wilayah Jabodetabek.
Maraknya alih fungsi lahan dan pembangunan yang tidak sesuai aturan menyebabkan kerusakan ekosistem yang serius berpotensi memicu bencana seperti banjir, longsor, dan kekeringan.
“Kalau di sini jadi rumah semua, kalau di sini sungainya rusak. Lingkungannya rusak, ya, di sininya habislah, karena kan ini hulu, gunungnya di sini. Nah ini yang mesti dibenahi,” katanya.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol menuturkan Presiden Prabowo Subianto menginginkan penegakan aturan tanpa pandang bulu sehingga pihaknya melakukan langkah-langkah evaluasi terkait penggunaan lanskap.
“Langkah-langkah secara sistematis dan struktural untuk mengembalikan fungsi DAS (daerah aliran sungai) hulu menjadi sangat penting,” katanya.
Kawasan yang dipasang papan peringatan diminta memperbaiki kondisi lingkungan yang berada di hulu DAS Kali Bekasi.
Deputi Bidang Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup Rizal Irawan menambahkan sembilan lokasi tersebut disegel dan tidak boleh beroperasi akan menunggu hasil kajian dari ahli sekitar dua pekan ke depan. Hasil kajian tersebut juga akan menyatakan seberapa besar lokasi tersebut berkontribusi pada kerusakan lingkungan.
“Apakah hanya melengkapi izin, atau melengkapi fasilitas, sarana prasarana, atau mungkin paling parah pembongkaran, itu ahli yang menentukan,” ucapnya.

Kala Pengembang Tepis Alih Fungsi Lahan Kawasan Perumahan Biang Kerok Banjir Jabodetabek
Banjir yang terjadi pada awal Maret ini bukan sepenuhnya salah pengembang namun terdapat tanggung jawab dari pihak pemerintah daerah hingga kementerian terkait. [1,589] url asal
#banjir-puncak #alih-fungsi-lahan #kebun-teh #banjir-jabodetabek #pengembang #kawasan-perumahan #lahan-sawah-dan-rawa
(Bisnis.Com) 12/03/25 11:00
v/38318/

Bisnis.com, JAKARTA — Banjir besar yang terjadi di Jabodetabek khususnya Bekasi dan Kabupaten Bogor pada Selasa (4/3/2025) akibat dari intensitas curah hujan tinggi yang mengguyur kawasan hulu dan hilir semalaman.
Sejumlah perumahan seperti Puri Harmoni 8, Pondok Damai, Bumi Mutiara, Mahkota Pesona, Vila Nusa Indah 1, 2, 3, dan 5, Situsari Sejahtera, Pondok Gede Permai, Kemang Ifi Graha, Kemang Pratama, Pondok Mitra Lestari, Grand Galaxy Bekasi, Bumi Satria Kencana, Jaka Kencana, Depnaker, Bumi Nasio Indah, Jatiluhur, Graha Indah, Buana, Villa Jati Rasa, Taman Bougenville, Jatibening Permai, Taman Narogong Indah, dan The Arthera Hill. Selain di Bekasi dan Bogor, banjir pada Selasa (4/3/2025) juga melanda 13 kawasan perumahan di Depok dan Tangerang.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (REI) Bambang Eka Jaya mengatakan proses pembangunan satu wilayah bukan hanya oleh developer saja. Pengembangan perumahan harus sesuai dengan perencanaan dan tata ruang dan berlaku.
“Kami membangun sesuai dengan konsep tata ruang yang ada dan peraturan terkait, serta semua perizinan yang dikeluarkan oleh Pemda,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (12/3/2025).
Pihaknya menampik pengembang menggunakan lahan bekas sawah dan rawa untuk dijadikan kawasan perumahan. Menurutnya, yang perlu diperhatikan oleh masyarakat tidak semua akibat yang timbul seperti banjir besar yang baru terjadi langsung menunjuk developer sebagai biang kerok.
“Memang koordinasi harus disinergikan oleh Pemda karena saat mulai proyek pun peil banjir (ketinggian muka tanah yang secara hidrologi paling aman dari resiko banjir) sudah ditetapkan oleh pemda dalam proses PBG (perizinan bangunan gedung) di samping dengan amdal lalin, amdal lingkungan untuk proyek yang skala besar,” katanya.
Dia menegaskan tidak ada satu developer yang mau proyek propertinya kebanjiran karena akan menghancurkan nilai proyek tersebut dan juga reputasi developer ke depan.
“Yang perlu dilakukan tentu pengawasan dalam pelaksanaannya agar sesuai,” ucapnya.
Bambang menambahkan untuk developer besar yang menggunakan lahan bekas rawa akan dilakukan pengerukan dan diganti tanah merah. Lalu dibangun dengan fondasi minimal beton plat setempat dan bahkan menggunakan tiang pancang beton untuk menjaga kualitas bangunan.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Properti dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah berpendapat sebelum membangun rumah terdapat prosedur yang dilalui.
“Jika perizinan diperbolehkan dan sesuai aturan yang ada, pengembang pasti mengikuti aturan, dan tidak saling menyalahkan. Pengembang pada prinsip izin yang diterbitkan oleh Pemda, kalau pemda yang melarang maka pengembang enggak akan bangun,” tuturnya.
Menurutnya, banjir besar yang terjadi pada pekan lalu bukan salah pengembang. Dia menilai perlu dilakukan evaluasi menyeluruh perizinan dan bukan hanya perumahan saja.
“Perumahan masyarakat umum banyak tenggelam. Banjir kemarin kan seperti bencana dan tidak saling menyalahkan. Evaluasi juga dilakukan ke perumahan masyarakat umum yang dibangun swadaya,” ujarnya.
Dia mengusulkan agar evaluasi menyeluruh dilakukan pada pembangunan perumahan yang akan datang bukan pada perumahan yang sudah ada saat ini. Pasalnya, perumahan saat ini yang terkena banjir sudah terbangun dan dihuni.
“Pengembang enggak akan bangun kalau tidak sesuai dengan peruntukan lahan dan perizinan. Kalau peruntukkannya sawah kami tidak akan bangun. Kalau peruntukannya boleh dibangun permukiman tidak salah pengembangnya. Ini evaluasi menyeluruh dilakukan untuk semua perumahan baru ke depannya,” kata Bambang.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Properti dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah berpendapat sebelum membangun rumah, terdapat prosedur yang dilalui.
“Jika perizinan diperbolehkan dan sesuai aturan yang ada, pengembang pasti mengikuti aturan, dan tidak saling menyalahkan. Pengembang pada prinsip izin yang diterbitkan oleh Pemda, kalau pemda yang melarang maka pengembang enggak akan bangun,” tuturnya.
Menurutnya, banjir besar yang terjadi pada pekan lalu bukan salah pengembang. Dia menilai perlu dilakukan evaluasi menyeluruh perizinan dan bukan hanya perumahan saja.
“Perumahan masyarakat umum banyak tenggelam.Banjir kemarin kan seperti bencana dan tidak saling menyalahkan. Evaluasi juga dilakukan ke perumahan masyarakat umum yang dibangun swadaya,” ujarnya.
Dia mengusulkan agar evaluasi menyeluruh dilakukan pada pembangunan perumahan yang akan datang bukan pada perumahan yang sudah ada saat ini. Pasalnya, perumahan saat ini yang terkena banjir sudah terbangun dan dihuni.
“Pengembang enggak akan bangun kalau tidak sesuai dengan peruntukan lahan dan perizinan. Kalau peruntukannya boleh dibangun permukiman tidak salah pengembangnya. Ini evaluasi dilakukan semua ke depannya,” kata Junaidi.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Ari Tri Priyono menuturkan perlu dilakukan edukasi ke masyarakat bahwa pengembang tidak mungkin membangun di tempat yang secara aturan tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, jika mau dilakukan evaluasi kawasan perumahan, senantiasa harus bermula dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dari kabupaten dan kota yang bersangkutan.
“Penegakan dari aturan zonasi tata ruang di wilayah yang bersangkutan,” ucapnya.
Menurutnya, jika sudah dibangun dan seluruh persyaratan dan izinnya sudah terpenuhi maka pengembang telah memenuhi seluruh tugasnya. Dia menilai perizinan menjadi kunci dari seluruh masalah yang diperselisihkan akhir-akhir ini.
“Bila dirasa berbahaya dan seterusnya, maka sebaiknya dari awal saat perizinan, maka ditolak dan jangan diizinkan saja. Negara punya kewenangan sangat besar untuk mengaturnya,” tutur Ari.
Pengamat Properti Anton Sitorus menuturkan salah satu penyebab banjir besar di Bekasi ini yakni kesalahan pada perencanaan tata kota terutama pada saluran airnya sehingga perlu dilakukan pengerukan.
Kendati demikian, dia tak menampik banyak rumah yang dibangun di atas lahan bekas sawah karena harga yang murah dan lahan semakin terbatas. Pasalnya, lahan bekas sawah dan rawa seharusnya tidak dialih fungsikan menjadi lokasi pembangunan rumah. Hal ini dikarenakan kondisi tanah yang tidak solid dan kualitas air yang tak bagus.
“Tanah sawah memang enggak bagus. Secara fisiknya enggak bagus, air tanahnya juga jelek kualitasnya. Lalu juga kekuatan tanahnya juga perlu dipadetinnya juga banyak. Karena lama-lama turun-turun,” ujarnya.
CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda berpendapat banjir yang terjadi pada awal Maret ini bukan sepenuhnya salah pengembang namun terdapat tanggung jawab dari pihak pemerintah daerah hingga kementerian terkait.
Pasalnya, pengembang tidak akan bisa membangun rumah di lahan yang rawan banjir apabila pengajuan rancangannya tidak disetujui oleh Pemerintah Daerah dan Kementerian. Selain itu, banjir yang terjadi terutama di Jawa Barat akibat tata pembangunan saluran air yang tidak terhubung satu sama lain.
“Pemerintah daerah, pusat, kementerian terkait, ini harus sama-sama selesaikan masalah banjir,” katanya.
EVALUASI KAWASAN PERUMAHAN & SEMPADAN SUNGAI
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi mengatakan banyak masyarakat yang tertipu oleh pengembang yang menjual tagline bebas banjir ketika menjual unit rumahnya. Namun setelah ditempati, kondisi perumahan itu terendam banjir, bahkan ketinggian airnya hingga mencapai dua meter.
“Banyak perumahan yang dulu menjanjikan bebas banjir hari ini banjirnya dua meter. Kita akan audit dari aspek lingkungan seluruh perumahan di Jabar yang banjir,” ucapnya dilansir akun Tiktoknya.
Menurutnya, audit pengembang perumahan perlu dilakukan untuk mencari tahu kesesuaian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dalam pengendalian banjir.
Dia meminta Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman mengevaluasi seluruh pengembang perumahan terutama yang membangun di tepi sungai dan sawah. Haal ini penting agar tidak terjadi bencana di kemudian hari.
“Kementerian Perumahan harus mengevaluasi pengembang-pengembang yang melaksanakan pembangunan perumahan di tepi sungai dan di tengah sawah,” tuturnya.
Dia menilai bencana alam yang terjadi belakangan ini akibat dari pengelolaan lingkungan yang tidak baik. Salah satunya pembangunan perumahan yang tidak mengacu kepada rencana desain tata ruang dan wilayah.
“Bencana terjadi karena tata ruangnya, pembangunannya dilakukan secara ugal-ugalan, melawan prinsip alam,” ujarnya.
Saat ini marak terjadi alih fungsi lahan di hampir seluruh wilayah Jawa Barat. Bahkan, alih fungsi terjadi di kawasan-kawasan yang seharusnya tidak boleh dibangun. Sebagai contoh, adanya daerah aliran sungai di Cibarusah, Cileungsi, dan Kali Bekasi yang sudah disertifikatkan sehingga diklaim milik perorangan. Padahal, secara aturan kawasan-kawasan tersebut tidak mungkin dimiliki perorangan demi keberlanjutan lingkungan.
“Dulu sungai dikelola BBWS, sekarang jadi milik perorangan. Berarti ada yang tidak tepat,” katanya.
Dia meminta pemerintah kabupaten dan kota di Jawa Barat untuk mengawasi hal ini agar tidak ada lagi pembangunan perumahan di kawasan-kawasan yang terlarang. Adapun saat meninjau bantaran Sungai Bekasi untuk melihat proses pelebaran sungai, dia mendapati tanah di sekitar sungai telah berubah menjadi permukiman dan bahkan telah bersertifikat sebagai hak milik perorangan.
Dia menambahkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bersedia mengubah status sempadan sungai yang tadinya milik perseorangan atau perusahaan menjadi tanah negara untuk pengerjaan normalisasi sungai. Hal ini nantinya normalisasi dan pelebaran sungai tidak akan terhambat oleh terbitnya sertifikat atau kepemilikan yang dikuasai perorangan atau perusahaan.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersedia membiayai pengukuran tanah di sempadan sungai sebagai bagian dari rencana pelebaran badan sungai untuk mengembalikan lagi kapasitas daya tampung dan fungsi sungai. Hal ini sebagai upaya untuk membenahi tata ruang.
“Kita memulai melakukan pembongkaran daerah yang menutupi daerah resapan air yang bedampak pada mengalir air ke Ciasura kemudian nanti ke Kali Bekasi, dari Kali Bekasi kemudian ke Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi serta Jakarta, kalau Jakarta juga dari Ciliwung. Nah kemudian kita juga sudah bergerak untuk membenahi daerah aliran sungai,” ucapnya.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menuturkan lahan di sempadan sungai yang belum memiliki sertifikat dan tidak ada yang memiliki maka akan disertifikatkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dan diserahkan hak pengelolaan (HPL) kepada Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) setempat.
“Kalau yang sudah terlanjur ada sertifikat, kalau prosesnya tidak benar, memang kalau bukan haknya akan kita batalkan,” tuturnya.
Apabila proses administrasi yang dilakukan sudah benar, maka dipertahankan untuk menjadi milik yang bersangkutan. Namun, jika terjadi proses pengadaan tanah atau lahan untuk pelebaran, maka akan diberikan dua opsi solusi. Jika sebaliknya karena proses administrasi yang dilakukan masyarakat sudah benar, maka akan dilakukan ganti rugi pengadaan tanah
“Kalau sudah terlanjur ada masyarakat sekitar dan dia tidak memiliki, bukan hak dia, enggak ada sertifikat, sertifikat salah, maka yang bersangkutan akan ada kehakiman tetap ya kan, minimal ganti bangunan,” ujarnya.
Adapun status tersebut untuk memastikan daerah sempadan sungai terbebas dari aktivitas pembangunan.
“Supaya ke depan masyarakat tidak akan melakukan klaim sepihak membangun maupun mempunyai sertifikat di sepanjang bibir sungai dan sehingga menjaga ekosistem sungai,” kata Nusron.

Pengunaan Lahan Sawah dan Rawa untuk Kawasan Perumahan Jadi Penyebab Banjir
Pemerintah akan mengevaluasi tata ruang di wilayah sebagai upaya menjaga keseimbangan daerah dan mencegah bencana alam semakin parah. [427] url asal
#banjir #lingkungan #longsor #alih-fungsi-lahan #banjir #pengembang #properti
(Bisnis.Com) 08/03/25 10:47
v/37178/

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit pengembang perumahan yang bermasalah.
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi mengatakan banyak masyarakat yang tertipu oleh pengembang yang menjual tagline bebas banjir ketika menjual unit rumahnya. Namun setelah ditempati, kondisi perumahan itu terendam banjir, bahkan ketinggian airnya hingga mencapai dua meter.
“Banyak perumahan yang dulu menjanjikan bebas banjir hari ini banjirnya dua meter. Kita akan audit dari aspek lingkungan seluruh perumahan di Jabar yang banjir,” ujarnya dilansir Antara, Sabtu (8/3/2025).
Menurutnya, audit pengembang perumahan perlu dilakukan untuk mencari tahu kesesuaian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dalam pengendalian banjir.
Pihaknya akan mengevaluasi tata ruang di wilayah sebagai upaya menjaga keseimbangan daerah dan mencegah bencana alam semakin parah. Pasalnya, ruang terbuka hijau, kawasan hutan, hingga lahan sawah menjadi penyebab utama banjir di wilayah Jawa Barat. Oleh karena itu, kegiatan alih fungsi lahan di wilayah Jabar harus segera dihentikan demi menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah bencana lebih lanjut.
Pengamat Properti Anton Sitorus menuturkan salah satu penyebab banjir besar di Bekasi ini yakni kesalahan pada perencanaan tata kota terutama pada saluran airnya sehingga perlu dilakukan pengerukan.
Kendati demikian, dia tak menampik banyak rumah yang dibangun di atas lahan bekas sawah karena harga yang murah dan lahan semakin terbatas. Pasalnya, lahan bekas sawah dan rawa seharusnya tidak dialih fungsikan menjadi lokasi pembangunan rumah. Hal ini dikarenakan kondisi tanah yang tidak solid dan kualitas air yang tak bagus.
“Tanah sawah memang enggak bagus. Secara fisiknya enggak bagus, air tanahnya juga jelek kualitasnya. Lalu juga kekuatan tanahnya juga perlu dipadetinnya juga banyak. Karena lama-lama turun-turun,” katanya.
CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda berpendapat banjir yang terjadi pada awal Maret ini bukan sepenuhnya salah pengembang namun terdapat tanggung jawab dari pihak pemerintah daerah hingga kementerian terkait.
Pasalnya, pengembang tidak akan bisa membangun rumah di lahan yang rawan banjir apabila pengajuan rancangannya tidak disetujui oleh Pemerintah Daerah dan Kementerian. Selain itu, banjir yang terjadi terutama di Jawa Barat akibat tata pembangunan saluran air yang tidak terhubung satu sama lain.
“Pemerintah daerah, pusat, kementerian terkait, ini harus sama-sama selesaikan masalah banjir,” ucapnya.
Ketua Umum Yayasan Synergi Bangun Indonesia (YSBI) Ishak Chandra menuturkan pihaknya tak menampik masih banyak pengembang nakal yang membangun rumah di atas lahan bekas sawah dan rawa. Selain itu, juga banyak pengembang yang masih mengklaim bebas banjir padahal berada di dataran rendah dari sungai.
“Iya ada pengembang yang masih menggunakan lahan bekas sawah dan rawa bangun perumahan karena lahan terbatas. Saya kira banjir juga karena sungai dan infrastruktur air yang enggak memadai,” ujarnya kepada Bisnis.

Aturan Lahan Sawah Bisa Dipakai untuk Perumahan Rampung Awal 2025
Kementerian ATR/BPN sedang menyusun aturan penggunaan lahan sawah untuk perumahan, dengan syarat penggantian lahan serupa. Aturan rampung awal 2025. [373] url asal
#lahan-sawah #perumahan #kementerian-atr-bpn #alih-fungsi-lahan #lp2b #pembangunan-berkelanjutan #sejahtera #papua #forum-diskusi-rumah-rakyat-bersama-stakeholder-perumahan-menuju-indonesia-sejahtera #apersi
(detikFinance) 12/12/24 06:45
v/7889/

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tengah menggodok aturan yang mengatur soal lahan sawah (Lahan Sawah Dilindungi/LSD) yang bisa digunakan untuk pembangunan perumahan. Aturan tersebut rencananya akan rampung pada awal 2025 mendatang.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid menuturkan, menggunakan lahan sawah atau lahan pertanian dan pangan berkelanjutan (LP2B) untuk dijadikan permukiman sebetulnya tidak boleh. Ke depan, kata Nusron, lahan sawah bisa digunakan untuk membangun rumah namun para developer harus menyediakan lahan sawah pengganti.
Misalnya, seorang developer ingin membangun perumahan di kawasan LSD atau LP2B di wilayah Bekasi. Maka mereka harus mengganti lahan serupa di Bekasi tetapi kalau di Bekasi lahannya sudah tidak ada, bisa diganti di daerah lainnya contohnya di Ambon.
"Kami sudah rapat dengan Pak Menko Infrastruktur dan semua jajaran. Ini lagi disusun PP-nya, namanya PP RTRW Nasional.Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, turunan dari Undang-Undang nomor 59 tahun 2024tentang perencanaan pembangunan jangka panjang 2025 tahun 2045.Salah satu poinnya adalah akan memasukkan LP2B Nasional," kata Nusron dalam acara HUT APERSI sekaligus Forum Diskusi Rumah Rakyat Bersama Stakeholder Perumahan Menuju Indonesia Sejahtera di Mövenpick Hotel, Jakarta Pusat (11/12/2024).
"Jadi bapak-bapak kalau di Jawa, Pulau Jawa, karena disetting untuk kepentingan hilirisasidan disetting untuk kepentingan 3 juta rumah, mau nggak mau mengambil tanah LP2B di sini,bapak-bapak tidak harus mengganti LP2B atau mencetak sawah di lahan yang sama di kabupaten tersebut.Tidak perlu, tapi bisa diganti di Papua, di Sumatera, di Kalimantan, di mana-mana.Yang di sana lahannya masih banyak, tapi dengan tingkat produktivitas pangan yang sama," tambahnya.
Nusron menuturkan, aturan tersebut menjadi salah satu solusi dalam penyediaan rumah untuk program 3 juta rumah dan juga sebagai cara penyediaan lahan untuk swasembada pangan. Rencananya, aturan itu akan rampung pada kuartal I 2025 atau sekitar bulan Januari-Maret 2025.
"Pak Menteri Infrastruktur sudah menjanjikan Q1 tahun depan selesai PP-nya.Kalau bicara Q1 berarti antara Januari sampai Maret," ujar Nusron.
Sebagai informasi, dalam catatan Kementerian ATR/BPN, terdapat alih fungsi lahan sawah 100-150 ribu hektare setiap tahunnya. Maka dari itu, adanya peraturan mengenai LP2B nasional sangat penting. Hal ini untuk mengakomodir jika ketersediaan lahan di suatu provinsi tidak ada maka dapat diusulkan di provinsi lain untuk mengganti lahannya.
(abr/das)